Let us find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart ~

Selasa, 23 Desember 2014

Aku Menulisnya dengan Linangan Air Mata

Kau tau, dulu siapa yang selalu disampingku ketika aku menangis? Bahkan seseorang yang bersamaku menangis, merasa pedih ketika aku pedih.

Kau tahu, dulu siapa yang selalu disampingku ketika aku tertawa? Ketika aku menang lomba, ketika aku ranking pertama.

Kau tahu, dulu siapa yang membuatku sampai-sampai ingin pindah rumah saja? Memindah rumahku supaya ketika pulang, arah kita sama dan aku bisa pulang bersama kalian setiap hari?

Kau tahu, dulu siapa yang menemaniku makan eskrim, menertawaiku karena eskrimku selalu tercecer kemana-mana?

Ah, aku tidak akan melupakan semua itu.

Takdir indah yang tiba-tiba saja mewarnai sebuah kesempatan berharga yang diberikan Tuhan kepadaku, sebuah kehidupan.
Yang ketika melangkah, nyaris rasa takut dan rasa khawatir itu sirna, karena selalu ada kalian, bersamaku.
Yang ketika berjuang, semangatku berlipat, karena ada kalian yang memberikan sebagian semangat kalian kepadaku.
Yang ketika pergi, selalu ada rasa ingin segera kembali, mengabarkan kabar baik dan berada di tengah-tengah kalian.
Orang-orang yang kupanggil Mbak, saudara, sahabat, sejiwa, seperjuangan, sepermainan.

Ah, aku tidak akan melupakan semua itu.

Kisah bahagia yang semanis kue brownies, juga kisah sedih yang ketika sedih lebih sedih dari serial one littre of tears
Tanyakan pada jalan yang sudah pernah kita lewati, saat kita saling mengunjungi, atau saat kalian merelakan berjalan lebih jauh demi kita pulang berempat, betapa bahagiakah kita saat itu?
Atau, tanyakan pada bangku kelas yang menyaksikan kita saling berdiam, memendam masalah, dan merasa jengkel satu sama lain, betapa sedihkah kita saat itu?

Tanyakan pada kenangan itu, tidakkah kita merindukan seluruh masa itu?

Selasa, 02 Desember 2014

03 : 47 : 59

Dek, Allaah masih perangkai rencana yang Maha Indah kan dek? Bersyukur aku sudah hampir setiap hari berkasih sayang dengan adek, nah melalui Allaahlah hambaNya yang lebih baik dari aku, sedang menguji kita dek, kebersamaan kita, keterikatan kita, aku berharap adek sing sabar, sing syukur, sing ngati-ati..

Senin, 15 September 2014

Teruntuk Seseorang yang Merindukan Catatanku

Semoga ini yang ingin kau baca..

Berawal dari sebuah rasa nyaman, tenteram, tenang. Bak langit bersih tanpa arakan awan, jua bagai air sungai yang riaknya tiada. Entah, mungkin ini adalah cara Allaah memberi bukti atas firmanNya yang tanpa dusta, ...supaya kamu mendapat ketenangan hati dan dijadikanNya kasih sayang diantara kamu... Ar-Ruum : 21

Dan entah tepatnya kapan, sebuah rasa itu berubah, menjadi rasa butuh. Butuh untuk sekadar duduk disampingmu, butuh untuk saling membagi cerita, butuh untuk saling berbagi kasih. 

Lagi, rasa rindu mengusik sekeping hati. Entah, mengapa ia begitu berani. Tapi aku mulai menerimanya. Dan rinduku berubah menjadi kata demi kata, terangkai, dan engkaulah yang menjadi sebabnya. Seseorang yang dikirim Allaah untuk membaikkan segalanya. Ah, betapa bersyukurnya...

Doa-doaku yang melangit akhirnya melagukan namamu, meminta tangan Allaah merangkaikan kisah yang indah, kisah yang penuh bahagia, hanya denganmu. Hanya di sisimu. Bukan yang lain. Aku berdoa dengan kesadaran penuh dan kesungguhan hati. Aku berusaha sebaik mungkin supaya Allaah mengabulkan semuanya. Dan aku percaya kau juga.

Di sisimu, sebuah kebahagiaan yang tidak mungkin tidak aku syukuri. Semoga dilanggengkan. 

Mas, untuk yang kesekian kali aku memberi dalih kepada waktu untuk mengindahkan semuanya. Nanti. Dan sampai saat dimana 'nanti' itu benar-benar terjadi, aku menitipkan semua rasaku kepada Allaah, mengamplopi doa-doa kebaikan untuk kita dan aku kirimkan kepada Ia yang Maha Membahagiakan, berusaha melengkapimu sebisaku, menjadi seseorang yang baik, yang telah kau pilih untuk kau kasihi, dan mencoba sebaik mungkin mengasihimu. 

Semoga ini yang benar-benar ingin kau baca :)

Fs. Nurani
Kab. Semarang
16/9/2014
9.20 a.m.

Senin, 08 September 2014

Pondok tempat Aku Menempa Diri (Kini)

Adalah sebuah kesyukuran, ketika Allaah menempatkan saya dan teman-teman penerima bidik misi di Pondok yang kini kami tempati. Awalnya, keluh dan kesah dari kami bagaikan kebiasaan menjelang kepindahan kami. Pagi, siang, sore, malam. Tatap nanar kami terarah pada lemari dan ruang kamar yang telah kami tempati selama dua tahun. Asrama Putri Kampus yang jaraknya tidak seberapa jauh dari kampus kami.
Untuk saya pribadi, mondok atau nyantri barulah pertama kali ini seumur hidup. Sebenarnya keinginan itu sudah ada semenjak saya lulus madrasah ibtidaiyah. Tapi, restu orang tua belum diberika kepada saya. Beberapa minggu yang lalu, saya akhirnya pindah. Move on, dari tempat yang baik menuju tempat yang lebih baik.
Yang saya dapat di Asrama Putri dulu adalah : ngaji kitab Manba'u As-Sa'adah, ngaji Al-Qur'an sama Ustadzah Annur, belajar bahasa arab inggris sama Pak Ali, Pak Yahya, Pak Samingan, kitab sama Pak Misbah, pernah jadi pengganti ngajarin muthalaah pas dosennya kosong, pernah juga ngajar bahasa inggris soalnya asistennya gak ada semua. Alhamdulillaah :)
Dan sekarang, baru seminggu lebih beberapa hari disini, saya bisa : shalat jamaah lebih sering, ngaji Qur'an dengan makharijul huruf dan tajwid yang benar, kajian setiap habis magrib dengan kitab yang bermacam-macam, kalau tidak salah 7-8 kitab, *atau 6 kitab ya?* kalau jalan-jalan sore-sore langitnya luar biasa indah, ziarah kubur setiap kamis sore, bersosialisasi dengan masyarakat, baca buku di perpustakaan, air yang melimpah dan dinginnya menusuk tulang, menyegarkan. Alhamdulillaah :)
***
Kepindahan saya dan teman-teman ialah berkah. Menuju ke tempat yang lebih baik, menempa diri menjadi yang lebih baik pula. Pondokku yang sekarang tidak bersekat. Masyarakat ramah terhadap kami. Mbak-mbak pondok *pengurus* selalu berpesan bahwa dalam bersosialisasi, kami harus menerapkan salam, sapa, dan santun, sehingga keharmonisan antara masyarakat dan santri terus terjalin.
Yang membuat saya betah disini ialah, seperti yang sudah saya bilang bahwa pemandangan dari pondok ke kampus, atau dari kampus ke pondok itu indah sekali.
Perbukitan berdiri  kokoh di depan mata, langit biru jadi payung yang melengkapi keelokannya, udara pedesaan yang dingin, kalau buka pintu kamar, serasa ada kipas angin yang berputar kencang.
Kalau senja, saat matahari bergegas pulang ke peraduan, ia seperti melewati perbukitan. Langitnya warna-warni, elok sekali. Subhanallaah.
Kami juga diberi kesempatan untuk tetap menjalankan aktivitas kami, baik sebagai mahasiswa dengan jadwal kuliah kami setiap harinya, tapi juga diberi kesempatan untuk menjalankan tugas kami di organisasi yang kami ikuti.
***
Dan walau belumgenap sebulan ada disini, alhamdulillaah tempat ini dan segala yang ada disini, terutama pemandangan di sepanjang jalan saat kembali pulang, selalu menjadi alasan kuat untuk saya rindu dan kembali pulang kesini, ke Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Tuntang, Kab. Semarang. *Alhamdulillaah :)

Jumat, 05 September 2014

Biarkan Rasa


Seperti halnya gletser, yang akan meleleh hanya dengan sengatan mentari yang bermil-mil jauhnya
Kubiarkan rasa yang menembus ruang dan waktu ini meluruh semaunya dia akan meluruhkan dirinya
Seharusnya dari awal, sangat awal sebelum semuanya terlanjur, aku tidak membiarkannya
Imajinasi yang berkembang menjadi harapan, dan harapan yang menjelma menjadi impian, namun semu
Sekali pungguk tetap saja pungguk, yang hanya mampu merindukan bulan, hanya merindukan, tidak lebih
Aku meliuk-liukkan pikiranku jauh, memberadakan dirimu yang bahkan tidak dapat disampingku
Sepertinya, aku berubah menjadi orang lain, menjadi sosokku yang bukan lagi aku
Tak kutemukan lagi pulpen dan lembaran kertas yang menyaksikan tawa kehidupanku
Aku merapuh, aku melayu, sedih sendu merayu melapukkanku
Padahal kerentaan usiaku takkan menuakan rasaku
Namun, bertubi-tubi kau mengkroposkan rasa yang sudah kupupuk banyak
Oh... sekarang hanya sedikit yang mengerak disini, dan justru membuatku bingung
Ku kehilangan apa yang biasanya ada disini, namun kurasa ini yang kuinginkan
Dibandingkan luka dan dera dusta yang kau tujukan ke arahku menyayat beribu sembilu
Dengan luka yang bahkan sudah menginfeksi jiwaku, aku tetap mencoba menjadikanmu yang terbaik
Namun, luka yang kucoba abaikan ini tiba-tiba saja mengkronis, merembet ke ragaku, sedikit demi sedikit menggerogoti, sakiiit
Masih kusanggup-sanggupkan mempertahankan yang sudah tertahan beberapa tahun ini, dan aku berhasil beberapa saat, mungkin untuk beberapa saat mendatang aku masih sanggup meski aku atk yakin

Tapi entahlah, aku tak akan lagi mengolah rasa ini lagi, semuanya kubiarkan teronggok, dan terolah semaunya sendiri, dengan tangan yang Maha Mengolah Perasaan...

*ini saya tulis 14 Januari 2013
Entah apa yang saya rasakan saat menulisnya, Alhamdulillaahnya sekarang, ketika saya membacanya lagi, rasanya sudah tidak seperih dulu. :) Saya sudah sembuh ^^

Sabtu, 30 Agustus 2014

Kehadiran yang Membuatku Bersyukur

Jika tidak ada malam tanggal 18 Agustus, mungkin aku tidak akan sepeduli ini kepada diriku sendiri. Jatuh hati lagi, kepada seseorang yang sepertinya teah aku sebut dalam doa lama sebelum aku mengenalnya. Seseorang dengan kekayaan hati, ilmu, dan amal. 

Aku tidak benar-benar tahu sebenarnya, apa yang membuatku benar-benar merasa mendapatkan anugerah yang tiada tara saat bersamanya. Disampingnya, atau melihatnya dengan buku-buku tebal yang ia baca, atau mendengarkan ia bercerita tentang apa saja, aku bahagia. Nyaman, tenang, damai. Seperti menemukan pelita dalam gelap, atau mungkin lebih dari itu, perasaan yang tidak aku dapatkan selain darinya. 

Ia, seseorang yang dengan kemampuannya menjadikan perasaan yang menurutku abstrak perlahan menjadi terdefinisi. Definisi yang menguatkan, bukan begian dari kalkulasi yang berdasar logika. Semua yang ia kemukakan ialah dari hati. Aku merasakannya, merasakan sekeping hati ini tersentuh olehnya.

Atas semua yang ia lakukan untukku, aku bersyukur. Atas semua yang ia lakukan padaku, aku bersyukur. Atas kehadirannya yang begitu menyempurnakan, aku bersyukur.

Izinkan aku menjaganya melebihi ia menjagaku. Izinkan aku menghormatinya dengan penghormatan yang utuh. Izinkan aku mendampinginya dengan pendampingan yang penuh. Begitulah aku ingin mencintainya. Suatu saat nanti.

Aku suka berdoa, karena doa selalu dikabulkan pada saat yang paling tepat dan paling indah. Allaah Maha Tahu... :) 

Ini bagian dari doa, yang nantinya akan dikabulkan. Allaah... :)

Rabu, 06 Agustus 2014

Kisah Lembaran Usang

Aku menemukan kotak kayu coklat di rumah itu. Rumah yang aku tinggali semasa kecilku. Aku membukanya, dan aku menemukan lembaran lusuh yang termakan usia. Kubuka satu per satu lembaran itu, Agustus 2012, itu sudah 25 tahun yang lalu, jauh sebelum aku terlahir di dunia ini. Wisnu? Siapakah Wisnu? Dan kenapa ada nama Laras?
***
Agustus 2012
#Wisnu
Aku tak bisa memberikan kejelasan pada Laras. Aku tidak bisa memutuskan takdirku sendiri. Selalu ada yang Maha Menakdirkan dalam setiap keputusanku. Biarkan orang lain menanggapku salah satu dari fatalis yang masih hidup di zaman semodern ini. Aku hanya bisa memberinya harapan – semacam mengalirinya air kehidupan, entah sampai kapan.
***
            Hari ini, Laras kembali meminta penjelasan atas sebatas harapan yang aku berikan padanya. Atas kalimat-kalimat retoris yang justru membuatnya selalu sesak. Aku sedang sendiri saat itu. Di kamarku d asrama kampus yang jaraknya sudah ratusan kilo dari tempat Laras berada sekarang. SMS masuk. Di layar ponselku, nama Laras tertera. Aku bahagia, meski tak dapat ku ukur seberapa bahagianya aku saat itu.
            “Mas, sibukkah?” pertanyaan yang sudah kuhafal, ini caranya untuk meminta sedikit waktuku.
            “Nggak, kenapa?”
            “Something important. I miss you so crazy..” Aku tidak membalas, kalimat laras yang tidak diakhiri tanda titik pertanda ia belum menyelesaikan kalimatnya. Aku menanti akhir dari kalimat yang menggantung itu.
            “Tapi Mas, akhir-akhir ini aku mikir, apa ya Mas Wisnu punya perasaan yang sama? Apa Mas Wisnu serindu aku rindu sama Mas? Aku butuh status Mas, butuh penegasan atas hubungan kita. Butuh kata-kata kongkrit tentang rasa rindu Mas sama aku. Selama ini, aku sesak sekali harus diam begitu lama. Anggap ini sebagai gugatan. Ya, aku menggugat rasamu Mas.”
            Aku tertohok. Laras yang selama ini diam dan selalu bilang dia baik-baik saja, yang selalu bilang akan menungguku sampai akhir, yang tidak akan akan mempersoalkan ketiadaanku di sisinya, ternyata dia sakit, ternyata sabarnya berbatas, ternyata ia membutuhkan seseorang, yang bisa disisinya, bukan aku yang begitu jauh disini. Aku membaca sms itu, bisa membayangkan ekspresinya. Ia menangis saat ini. Sendiri, mungkin di sudut kamar biru langitnya, mungkin juga di bangku sudut taman, tempat kami mencipta beribu kenangan semasa muda. Ah, pundakku terasa gatal. Aku ingin menopang segala sedih yang aku sebabkan di relung hatinya. Aku juga rapuh, ingin sekali mengenyahkan fatalisme yang celakanya sudah mendarah daging ini. Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Hanya mampu kembali mencekiknya dengan kalimat menggantungku, menyerahkan segala keputusan padanya.
            “Jika memang yang terbaik bagimu adalah tidak lagi menungguku, aku akan membebaskanmu, silahkan melakukan apapun yang kau mau disana, bersama siapapun yang kau suka. Tapi, jika menunggu adalah hal yang baik bagimu, maka tunggulah, meski aku tidak tahu kapan tepatnya aku akan datang.” Jawabku.
***
Agustus  2012
#Laras
Seberapa bahagia ia disana, Tuhan? Selalu aku ingin menjadi orang yang pertama mendengar ceritanya hari demi hari. Aku ingin memberikan senyum pertamaku padanya setiap pagi. Aku ingin ia mengerti  bahwa aku mencintainya penuh, bulat. Tapi, aku tidak punya kesempatan lagi setelah perpisahan dua tahun yang lalu. Kami memutuskan melangkah di jalan yang berbeda, memutuskan dengan hati yang tetap sama.
***
            SMS terakhirku sudah terkirim, dan balasannya membuat perasaanku antah berantah. Aku memaku di kamarku, dan tembok bisu yang menjadi tempat curhatku. Entah, kebebasan ini apakah membuatku bahagia, atau membuatku terluka. Yang jelas, airmataku mengalir tambah deras, airmata yang aku tidak tau ekspresi apa. Nafasku semakin sesak, semakin tercekat.
            Lama aku melamun, mendefinisikan kata-kata yang aku telan dengan hatiku. Airmataku sudah menyatu dengan udara. Aku gagal membentengi hatiku dengan sugesti kekuatan yang aku buat sendiri. Aku berjanji, ini adalah airmata kekuatan, bukan airmata lemah dan rapuh. Aku hanya butuh cara untuk menguatkan sekeping hati ini, dan semuanya akan baik-baik saja, bukan semuanya akan lebih baik dari sebelumnya.
            Aku jadikan tanganku menjadi sapu tangan. Airmataku  kering, aku bangkit, dan aku memutuskan untuk menjadi  Laras yang baru, yang bebas lepas. Yang terbang tinggi, yang lebih bahagia. Wisnu sudah menyadarkanku, ditinggalkan bukan berarti aku harus terus berkutat pada kehampaan, kehilangan, dan rasa sedih yang bergumpal-gumpal. Jika aku merelakannya dengan kerelaan yang utuh, Tuhan akan menggantikannya dengan orang-orang lain yang lebih baik, lebih tulus, dan lebih membahagiakan, serta lebih melengkapi. Orang-orang yang akan meneribtkan senyum secerah mentari jam tujuh pagi. Semoga aku segera bertemu dengan orang-orang yang dijanjikan Tuhan itu. Semoga seperti itu.
***
Agustus 2014
#Wisnu
            Laras bahagia. Kuharap begitu. Waktu begitu cepat berlalu. Jalanku pada rel kehidupan ini juga cepat sekali. Kemarin, sepertinya aku baru saja mulai mencintainya. Kemarin, sepertinya aku baru saja melenakannya dengan janji-janji yang entah kapan akan kutepati. Tapi, kini, hanya dengan satu dua helaan nafas, aku telah membiarkannya pergi. Membiarkan ia terbang dan menemukan persinggahan hati yang baru, yang bukan aku. Mengapa aku merasa sesak? Bukankah harusnya aku bahagia? Dengan begini tidak akan ada lagi wanita yang menanyakan seberapa serius aku dengannya. Tidak ada lagi wanita yang menggugat perasaanku terhadapnya. Tidak akan ada lagi.
            Laras bahagia. Aku meyakinkan hatiku lagi. Kini, aku tidak harus memikirkan perasaannya lagi. Aku bisa lebih focus berbisnis dan mengejar ambisiku.
***
Agustus 2014
#Laras
            Tidak mudah menghapus bayangan Wisnu. Butuh waktu dua tahun sebelum akhirnya aku memutuskan pinangan Adit. Aku akan bahagia, Wisnu. Terimakasih untuk tidak pernah lagi datang selama 2 tahun ini. Aku benar-benar bahagia. Aku menemukan apa yang selama ini aku cari. Sesuatu yang tak pernah aku temukan darimu walau aku teguhkan hatiku untuk menantinya. Kepastian. Sesuatu yang aku butuhkan untuk hidup.
            Kepastian. Dari seseorang yang aku mencintai aku, dan seseorang yang bersedia aku cintai. Adit. Seseorang itu adalah Adit, bukan yang lain. Selamat tinggal Wisnu, selamat berbahagia dengan hidupmu.
***
            Aku mencoba merangkai potongan-potongan kisah bertanggal itu. Kisah yang sudah amat lama.  Laras adalah nama ibuku. Jangan-jangan, Wisnu adalah orang yang pernah ibu ceritakan. Cinta pertamanya, dan Adit adalah nama ayahku. Ya, petuah ibu untuk aku mengunjungi rumah ini dan menemukan kotak kayu dengan lembaran kisah masa lalu adalah caranya untuk membuktikan kata-katanya dulu. “Kepastian bisa mengalahkan segalanya, cita pertama sekalipun akan kalah.”
            Ibu, Ayah, aku ingin tahu lebih banyak tentang kisah itu. Kisah setelah tidak ada Wisnu dalam hidup kalian. Kisah yang hanya ada Laras dan Adit. Dua insan yang saling mencintai hingga Tuhan mengambil ruh keduanya. Ceritakan padaku, Ibu.. ceriakan padaku walau lewat mimpi.


*Giling-Pabelan, 3 Agustus 2014 

GEDUNG JUANG ‘45

            Aku melambatkan laju motorku setiap melewati jalan ini. Jalan berlubang di depan deretan gedung kecamatan. Sebuah gedung putih, berlabel Gedung Juang ’45. Haru menyeruak begitu saja, meski tak sampai satu menit aku melihatnya.
***
            Seorang anak perempuan. Rambutnya sepunggung, dikepang dua, pita merah di ujungnya,matanya bulat. Imut seperti boneka. Sayang, ia pemalu. Sejak kecil, ia hanya mau bersama bapak ibunya. Hingga seorang guru TK dengan welas asihnya membuat anak itu membuka dirinya.
            3 tahun ia mulai sekolah. Tidak ingat siapa yang pertama menjadi temannya. Dua tahun setelah itu, saat ia belum mengerti apa itu kesempatan, ia telah mendapatkannya. Ibu Mustiroh. Ibu guru tersabar yang pernah ia temuilah yang pertama kali memberikannya. Anak pendiam yang tidak seaktif teman-temannya, yang takut pada teman-temannya didelegasikan untuk mengikuti sebuah lomba tingkat kecamatan. Lomba pertama kalinya, pada usia 5 tahun.
            Ia tidak benar-benar mengerti apa itu lomba. Ia hanya diminta menghafal dua surat Al-Qur’an, surat Al-Ikhlas dan Al-Falaq. Setiap habis maghrib, dua minggu sebelum hari H,  bapaknya selalu membimbingnya. Ia seringkali tidak mau, asik dengan pensil warna dan gambar-gambarnya yang tidak jelas, atau sibuk bermain bersama adiknya, main mobil-mobilan. “Bapak punya tic tic (snack zaman dulu) nih buat yang mau ngaji…” cara sang bapak membujuknya. Ia luluh. Ngaji barang dua tiga ayat, dan kemudian menangis merajuk minta tic tic yang diiming-imingkan. Berhenti menangis setelah sepersekian detik tic-tic ada ditangannya. Dan beberapa menit kemudian tic-tic habis dimakan bersama adiknya. Berbagi.
            Malam-malam selalu begitu. Ngaji, menangis, dan snack. Selama satu minggu. Di minggu berikutnya, tidak ada lagi tangis dan tidak ada lagi ngaji sehabis maghrib. Terlalu banyak yang mengganggu pada waktu itu. Apalagi adiknya yang giginya sudah tajam, bak drakula saja ia menggigit lengan mbaknya.
***
            Dini hari, 03.00. Anak itu sedang asik duduk di meja super besar dengan buku yang banyak, tebal. Buku tentang kurikulum, matematika, dan majalah rindang yang bertumpuk. Tidak ada majalah bobo atau majalah ceria, majalah untuk anak usia 5 tahun. Meja itu adalah meja kerja mbah kakung, seorang guru matematika madrasah ibtidaiyah. Anak itu setiap dini hari, bahkan ketika bapaknya belum bangun, ia sudah membaca apa saja. Membaca buku yang ia tidak faham isinya. Jangankan isinya, kata-katanyapun ia belum mengerti. Ia hanya sedang senang mengeja, membaca. Mbah Kakungnya tahu tentang itu.
            Pada dini hari itulah, tanpa krayon, pensil warna, dan sang adik, Mbah Kakung mengajarinya mengaji. Tak jarang, hanya membacakan untuknya, dan anak itu hafal begitu saja. Surat Al-Ikhlas dan Al-Falaq sudah beres.
            Hari H. Sepertinya hari Kamis. Anak pendiam dan takut kepada teman-temannya itu pergi bersama Ibu Mustiroh ke tempat yang jauh dari sekolah. Saat itu rasanya jauh sekali bahkan. Tempat yang tidak asing, tapi juga sepertinya pernah ia lintasi. Mungkin, setiap jalan-jalan sore dengan Mbah Kakung. Gedung Juang ’45. Anak itu mengeja.
            Ia dan Bu Mustiroh masuk dan duduk di bangku yang sudah disiapkan oleh panitia. Saat itu, ia memakai seragam putih hijau, dan jilbab putih baru. Baru dibelikan oleh Mbah Putri kemarin lusa. Seperti biasanya, anak itu hanya diam. Duduk di tempat dengan sangat tenang. “Nduk, nanti kamu ngaji ya disana. Nanti gantian sama temannya.” Ibu Mustiroh mengatakan hal itu sembari menunjuk sebuah panggung kecil dengan stand mic yang pendek, namun cukup tinggi untuknya. Teman? Tidak ada teman saya Ibu disini. Pikirnya saat itu.
            Beberapa waktu sebelum lomba, Ibu Mustiroh banyak bertanya padanya. “Mau pipis dulu?” aku menggeleng. “Mau makan roti? Minum susu?” aku menggeleng. “Maunya apa Nduk?” Ibu Mustiroh menawari. “Tic tic.” katanya pendek. Mbah Putri tadi pagi memasukkan tiga bungkus tic tic di tasnya. Seperti biasa, dalam hitungan menit, tic tic pun habis ia makan.
            Waktu terus berjalan maju. Saatnya perlombaan dimulai. Satu persatu ‘teman’ dipanggil oleh panitia, maju ke depan. Ada yang hanya diam, tersendat ditengah-tengah ayat, ada yang menangis, dan ada juga yang lancar  melafalkan ayat demi ayat. Anak itu? Ia melafalkan surat yang memang sudah dihafalnya, ayat per ayat. Berdiri tegak sampai akhir, lancar, namun suaranya sangat lirih. Hampir tidak terdengar. Ia masih terlalu kecil untuk belajar dari peserta sebelumnya yang melafalkan kedua surat itu dengan lantang.
            Ia turun dari panggung kecil dengan ekspresi datar. Menuju gurunya berada, dan tersenyum, membalas senyum gurunya yang menyambutnya. Seperti ekspresi kelegaan setelah berlaga. Dan makan tic tic lagi. Memainkan jilbab barunya, dan mulai berbicara pada ’teman’ disebelahnya. Seorang anak laki-laki yang tadi lantang membaca surat Al-Ikhlas dan Al-Falaq. Sebenarnya anak lelaki itulah yang terlebih dahulu mengajaknya bicara. Anak lelaki yang sayangnya ia tidak tahu namanya. Tapi ia tahu kalau ia harus membagi tic ticnya dengan anak lelaki itu. Kebiasaan berbagi dengan adiknya.
            Siang. Gedung Juang ’45 masih riuh dengan kami, anak TK. Tapi tentu saja anak itu tidak ikut andil dalam keriuhan. Ia masih duduk diam dengan sebungkus tic tic dan ‘teman’ barunya. Seorang wanita berkaca mata naik ke panggung. Tangannya membawa secarik kertas. Kertas pengumuman. Pengumuman juara lomba manghafal surat Al-Ikhlas dan Al-Falaq tingkat kecamatan.Juara tiga dumumkan. Bukan aku. Kata hati anak itu. Juara dua.Bukan juga. Juara satu, temannya juara satu. Teman yang ia bagi tic tic, yang duduk disebelahnya. Anak lelaki itu maju, mengambil piala. Ternyata tahun lalu ia juga juara. Ibu guru mengajaknya memberi selamat kepada anak lelaki itu. Yang sayangnya ia tidak tahu namanya. Ucapan selamat pertama darinya. Ternyata, seperti itulah seorang pemenang. Tersenyum bangga di depan banyak orang.
            Anak perempuan itu pulang, tanpa kecewa. Bagaimanapun ia sudah ngaji di panggung yang ditunjuk ibu guru dan tidak menangis. Yah, kesempatan pertama, kekalahan pertama.
            Setelah sekian lama, seiring tahun yang berganti dan usia yang bertambah, anak itupun tumbuh. Dengan tempaan lomba demi lomba yang ia ikuti setelah lomba menghafal surat Al-Ikhlas dan Al-Falaq. Dengan menang kalah yang pernah ia rasakan.
Anak itu kini tidak lagi berkepang dua. Anak itu adalah aku, yang selalu merasa terharu setiap melewati Gedung Juang ’45 yang kini sudah agak berbeda, sudah direnovasi meski tetap bercat putih. Anak itu, yang tidak berani bicara di depan umum, yang takut dengan teman-temannya, yang memilih banyak diam, adalah aku. Gedung Juang ’45, lima belas tahun yang lalu. Aku tidak akan pernah lupa, kesempatan pertama itu.
*Bilik Permai

16 April 2014 2:43 a.m.

Kamis, 19 Juni 2014

Maaf, Harusnya Aku Berani Mengatakannya

Bingung. Tidak ingin bertele-tele. Aku mau minta maaf. Maaf  kalau aku menyakiti. Maaf kalau aku menyebalkan. Bahkan, jadinya kamu benci. Jadinya dimatamu aku munafik, Jadinya dimatamu buruk. Aku... aku pasrah. Terserah kamu mau menganggap aku seperti apa. Aku tidak akan melakukan pembelaan. Aku juga tidak ingin menjelaskan apa-apa. Aku punya Tuhan, yang uluran tangannya akan menyingkap tabir yang paling rapat sekalipun. 

Aku kerap kali membaca novel, tentang perasaan. Yang mirip-mirip dengan kisah itu. Dan, aku selalu menjadi pihak yang salah, sedangkan kamu menjadi pihak yang benar, Mungkin otakku sedikit tercuci dengan cerita yang dibuat oleh para pengarang itu. Yang memainkan emosiku. Aku tidak ingin menjadi pihak yang seperti itu sebenarnya, disalahkan oleh para pembaca. Tapi ya jika aku diposisikan menjadi seperti itu, biarlah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak mau berbuat apa-apa. Ini bukan pembelaan, aku tidak punya kepentingan untuk membela diri.

Hari ini, aku tidak ingin memperkeruh kisah yang belum pernah jernih. Antara kita, Mbak. Rasa bersalah yang tiba-tiba, dan entah pandanganmu yang aku tak mampu terka. Senyum itu, senyum sakit di mataku. Sapa itu, sapa perih di telilngaku. Bahagia itu, apa kau benar-benar bahagia? Ah, entah. Pertanyaan ini hanya mampu aku utarakan disini. Disini. Tidak di depanmu, tidak di depan orang yang sakit.

Jika kita boleh bertukar peran, aku rela. Aku ingin. Aku menawarkan diriku untuk menggantikanmu. 

Maaf. Maaf. Maaf. 
Lagi, aku minta maaf. Hal terbaik yang bisa aku lakukan, yang tidak bisa mengubah segalanya.

Tatapan matamu, sapaan yang terdengar palsu, dan ..... ah, kau tahu pasti tahu apa yang ingin kutulis disitu. Maaf. Maaf. Maaf. Harusnya aku berani mengatakannya. Menjabat tanganmu, memelukmu, dan mendengarkan ceritamu tentangnya dengan matamu yang berbinar seperti masa-masa yang lalu. 

Minggu, 13 April 2014

Lima Menit



Selalu ada setidaknya lima menit menyenangkan dalam malamku, lima menit saat ia memperdengarkan suaranya dari seberang, lima menit saat ia menanyakan kabar keadaanku, lima menit saat ia bertanya bagaimana kondisi rasa dan hatiku, lima menit saat ia menjawab apa yang aku tanyakan padanya. Lima menit yang menyenangkan, yang tidak mungkin luput untuk aku syukuri dalam setiap sujud subuhku beberapa jam setelahnya.
            Embun-embun pagi merangsek ke ujung-ujung daun, langit menerang, mentari malu-malu muncul. Ibuku yang selalu berhati malaikat membangunkanku. Aku masih bermukena, aku tak sengaja tertidur setelah dengan setengah sadar menunaikan sahalat subuh. Aku memang selalu begitu. Suaranya yang hanya lima menit ku dengar itu selalu menyirnakan rasa kantukku, dan menghadirkannya kembali di fajar yang dingin. Tapi tiada mengapa, rasanya masih tetap menyenangkan.
            Kembali Ibu menungguku di meja makan, kebiasaan kami memang, setelah Ayah meninggal dua tahun silam, Ibu tidak pernah membiarkanku makan sendirian. Ia tersenyum padaku, senyum malaikat. Seperti biasa, aku mencium Ibuku terlebih dahulu, Ibu tampak cantik dengan jilbab coklat yang dibelikan almarhum ayah dulu. Kami makan, sebagaimana lazimnya. Masakan Ibu tetap enak, mungkin ini salah satu hal yang membuat ayah jatuh cinta dulunya. Minggu pagi yang selalu membahagiakan, bersama Ibuku.
            Di sofa ruang tengah, aku melihat Ibu mebuka-buka album kenangan kami dulu. Ketika keluarga kami masih lengkap. Ibu, Ayah, dan aku. Aku anak tunggal, tidak punya saudara kandung. Ibu juga anak tunggal. Ayah tiga bersaudara, paman-pamanku merantau ke negeri seberang, sementara kami menetap di negeri kami sendiri, negeri yang katanya makmur sentosa ini. Ibu menoleh dan tersenyum padaku, pandangan Ibu sayu, sedikit basah di ujung-ujungnya. Aku duduk disamping Ibu, meminta Ibu mengelusku manja.
            “Ibu, sebesar apa kerinduan Ibu terhadap Ayah?”
            Ibu tersenyum, senyum malaikat. “Ibu tidak tahu, mungkin tidak terlalu besar.”
            Aku tersentak. Alisku menyambung. Mengapa begitu?
            “Kerinduan Ibu selalu luruh ketika Ibu membuka kembali kenangan-kenangan itu. Bagi Ibu, selama Ibu masih memiliki kenangan itu, kenangan yang baik ataupun kenangan yang buruk, Ibu akan bisa kuat meredam rindu Ibu pada Ayahmu. Nak, kenangan itu, selain hal yang ampuh untuk menyatukan hati yang sudah retak, juga ampuh sebagai peredam rindu yang terkadang menggebu tak tertahankan.”
            “Walau dengan airmata?”, aku bertanya lagi.
            Ibu memeluk erat diriku. Hangat sekali. “Nak, di kehidupan yang luas ini, tidak semua yang terlihat bisa ditafsirkan sebagaimana lazimnya. Ketika airmata identik dengan kesedihan, kehilangan, atau perpisahan, tidak serta merta kau boleh menafsirkan secara mutlak bahwa airmata adalah pertanda hal-hal yang menyedihkan tersebut. Airmata Ibu tadi adalah airmata bahagia. Wujud kesyukuran Ibu yang teramat tulus. Ibu menangis karena Ibu rasa Tuhan begitu baik dengan Ibu, mengizinkan Ibu menyimpan kenangan-kenangan itu dengan rapi dan utuh. Membahagiakan sekali bukan?”
            Aku beranjak dari pelukan Ibu. Kutatap wajahnya yang elok menenangkan. Garis-garis wajahnya sudah terlihat. Ibuku sudah semakin tua, sebagaimana juga aku yang sudah semakin dewasa. Melihat Ibu yang seperti ini, airmataku mendesak, ingin keluar. Korneaku basah, beberapa menit kemudian, basah juga pipiku. Aku gantian yang memeluk erat Ibu. Semoga waktu akan menjembataniku untuk menjadi seseorang yang seperti Ibu. Berhati malaikat, memiliki senyum malaikat. Mulia sekali.
                                                                        ###
            Malam, kerajaan langit memamerkan pasukan bintang gemintangnya. Semuanya tumpah ruah mengitari permaisuri bulan yang kala itu hanya menampakkan dirinya serupa senyum. Melengkung setengah lingkaran. Dalam sujud malamku, aku bertanya pada Tuhan. Apakah Ibu dan Ayah saling merindukan, Tuhan? Berpisah dengan jarak yang lebih dari ribuan kilometer cahaya, bahkan jarak yang tiada terbatas, benarkah Ibu tidak terlalu merindukan Ayah? Ataukah karena terlalu merindukan Ayah, Ibu hingga tak mampu mendeskripsikan kerinduannya itu? Benarkah airmata Ibu adalah airmata syukur, airmata bahagia? Entahlah, aku belum mendapatkan jawaban atas perkara-perkara itu. Tapi aku percaya pada Ibu. Aku yakin ia bahagia, sebesar apapun desakan kerinduan yang mengganggu hatinya. Ibu masih memilikiku. Aku yang siap menjadi pelipur laranya, pengusir rasa sepinya.
            Pukul 00.01, selamat datang hari Senin. Selamat datang lima menit yang menyenangkan. Telfon genggamku berbunyi. Pasti dia. Benar saja, namanya terlihat di layar telfon. Seperti biasa, lima menit masih sangat menyenangkan. Lima menit saat ia memperdengarkan suaranya dari seberang, lima menit saat ia menanyakan kabar keadaanku, lima menit saat ia bertanya bagaimana kondisi rasa dan hatiku, lima menit saat ia menjawab apa yang aku tanyakan padanya. Lima menit yang menyenangkan, yang tidak mungkin luput untuk aku syukuri dalam setiap sujud subuhku beberapa jam setelahnya.
            Di akhir pembicaraan kami, aku berkata padanya “Aku bersyukur, aku bersyukur ada lima menit yang menyenangkan dari 24 jam hariku. Inilah kenangan kita, yang akan merekatkan rangkaian kisah kita. Kata Ibu, kenangan, selain hal yang ampuh untuk menyatukan hati yang sudah retak, juga ampuh sebagai peredam rindu yang terkadang menggebu tak tertahankan. Indah bukan?” Dia mengiyakan dari seberang sana, pertanda setuju. Pemahaman baruku. Pemahaman barunya juga. Kenanganku, lima menit menyenagkan kami, lima menit menyenangkan yang akan terus kami jaga sampai masa yang kami tidak bisa kami prediksi, yang akan kami kenang sebagai masa indah yang telah terlewati suatu saat nanti.

Gelas Penuh



Sahabat tersayang, izinkan aku mengutarakan beberapa hal yang pernah kau tanyakan kepadaku, untuk kemudian menjadi pelajaran semua yang membaca ini. Tidak akan ada yang tahu siapa kau, tentu saja kecuali Tuhan, aku, dan dirimu sendiri.
            Kisah ini dimulai…
            Malam itu langit murung, mungkin semurung hati sahabatku. Siang tadi, wajahnya tak secerah biasanya. Ia juga sedkit bicara, dan sejujurnya dalam diamnya, ia terlihat lebih keren dari biasanya. *hehe, tapi bukan masalah itu yang ingin aku bagi disini*
            Aku sedang berduaan dengan laptopku ketika malam itu. Hapeku bergetar. Aku acuhkan saja. Urusanku dengan laptop belum selesai. Aku melanjutkan ceritaku, merampungkannya, dan celingukan mencari hape. *aku pelupa, kalau sedang di asrama dengan teman-teman, biasanya aku meminta tolong mereka untuk missed call hapeku, hehe*
            Kubuka hapeku, 1 message received. Read. Ternyata dari sahabatku tadi. Empat huruf, membentuk kata yang biasanya ia gunakan untuk memanggilku *Ucik* dan emoticon :’( *cry*. Kubalas “Kenapa?” Dan ia bercerita panjang lebar, tentang kemendungan hatinya.
            Akan kuceritakan secara singkat…
            Sahabatku tadi, menyukai seseorang yang sudah memiliki komitmen dengan orang lain. Ia tahu benar tentang komitmen itu. Sahabatku dan orang yang ia sukai sudah berteman lama, bahkan menjadi rekan kerja dalam satu divisi di suatu organisasi. Menurutku, ini bisa dibilang cinlok *cinta lokasi* kayak yang ada di filem-filem atau di novel remaja yang kisaran halamannya cuma sampe 200-an.
            Aku belum bisa memberi solusi apa-apa saat itu. Aku lantas meminta penjelasan dari pihak yang lain *pihak yang disukai*. Ia membenarkan. Ia malah sempat berniat untuk keluar dari organisasi dan menghindar, demi komitmennya yang sudah lama, dan demi perasaan sahabatku tadi. “Profesional.” Satu kata itu aku sampaikan padanya, dan itu cukup manjur untuk tetap menahannya.
            Kembali ke sahabatku, ia bertanya apakah ia salah, ataukah ia benar, jika ia tiba-tiba mempunyai perasaan lebih kepada orang yang sudah berkomitmen dengan orang lain.
            Aku hanya memberikan perumpamaan. *Menuang air di gelas itu benar. Tapi, menuang air di gelas yang sudah penuh itu kurang tepat*.
            Perasaan itu fitrah, dan tidak bisa disalahkan. Hanya penempatannya yang seringkali kurang tepat, jadinya menyayat, dan seolah-olah terlihat salah. Ia, dengan kedewasaannya tentu faham dengan kalimat-kalimatku.
            Esoknya, ketika aku bertemu, mereka dengan sempurna menyembunyikan ‘kisah’ mereka. Akupun bersikap senormal mungkin, hanya kadang aku suka iseng, melontarkan godaan dan membuat tawa kami terdengar renyah.
Semuanya normal, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Alhamdulillaah.
***
            Begitulah, kini mereka berdua baik-baik saja. Menjadi semakin dewasa dengan pemahaman yang lebih dan perasaan yang relative stabil itu menyenangkan. Semoga semuanya lebih baik lagi mendatang, dan semoga tidak ada lagi kecanggungan, keluh kesah, dan airmata lagi diantara para sahabatku. Terimakasih sahabat tersayang, atas izin untuk membagi kisah  ini, semoga kau suka.

Minggu, 26 Januari 2014

Pare #1 : Kamar Kecil



Good Morning Pare… Selamat Pagi Pare, pagi yang tak sedingin Salatiga Hatti Beriman. Setelah menempuh perjalanan dengan mini bus dari jam 20.00 p.m. – 03.00 a.m., sampailah kami di tempat kami berada, Kamar kecil bercat kuning hijau.
            Sebulan yang akan datang, kami – aku, mbak Amalia, Mbak Siwi, Mbak Itsna, dan Mbak Eni – akan menghabiskan malam-malam yang indah di kamar kecil yang bukan toilet ataupun kamar mandi ini.
            Dan hal yang paling menyenangkan dari kamar kecil ini adalah jendela di bagian selatan yang jika menoleh ke kiri, kami bisa melihat sunrise, dan jika menoleh ke kanan, sunset yang mempesona menyapa kita.
Ini langit pukul 05.09 hari ini :)
            Angin yang bergelayutan di sisi jendela menerobos masuk dan menguapkan hawa panas. Sawah yang luas melambai-lambai mengajak bermain. Dan hari ini, petualangan kami yang menyenangkan akan kami mulai. Semangaaaatttt !!!