Let us find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart ~

Kamis, 19 Juni 2014

Maaf, Harusnya Aku Berani Mengatakannya

Bingung. Tidak ingin bertele-tele. Aku mau minta maaf. Maaf  kalau aku menyakiti. Maaf kalau aku menyebalkan. Bahkan, jadinya kamu benci. Jadinya dimatamu aku munafik, Jadinya dimatamu buruk. Aku... aku pasrah. Terserah kamu mau menganggap aku seperti apa. Aku tidak akan melakukan pembelaan. Aku juga tidak ingin menjelaskan apa-apa. Aku punya Tuhan, yang uluran tangannya akan menyingkap tabir yang paling rapat sekalipun. 

Aku kerap kali membaca novel, tentang perasaan. Yang mirip-mirip dengan kisah itu. Dan, aku selalu menjadi pihak yang salah, sedangkan kamu menjadi pihak yang benar, Mungkin otakku sedikit tercuci dengan cerita yang dibuat oleh para pengarang itu. Yang memainkan emosiku. Aku tidak ingin menjadi pihak yang seperti itu sebenarnya, disalahkan oleh para pembaca. Tapi ya jika aku diposisikan menjadi seperti itu, biarlah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak mau berbuat apa-apa. Ini bukan pembelaan, aku tidak punya kepentingan untuk membela diri.

Hari ini, aku tidak ingin memperkeruh kisah yang belum pernah jernih. Antara kita, Mbak. Rasa bersalah yang tiba-tiba, dan entah pandanganmu yang aku tak mampu terka. Senyum itu, senyum sakit di mataku. Sapa itu, sapa perih di telilngaku. Bahagia itu, apa kau benar-benar bahagia? Ah, entah. Pertanyaan ini hanya mampu aku utarakan disini. Disini. Tidak di depanmu, tidak di depan orang yang sakit.

Jika kita boleh bertukar peran, aku rela. Aku ingin. Aku menawarkan diriku untuk menggantikanmu. 

Maaf. Maaf. Maaf. 
Lagi, aku minta maaf. Hal terbaik yang bisa aku lakukan, yang tidak bisa mengubah segalanya.

Tatapan matamu, sapaan yang terdengar palsu, dan ..... ah, kau tahu pasti tahu apa yang ingin kutulis disitu. Maaf. Maaf. Maaf. Harusnya aku berani mengatakannya. Menjabat tanganmu, memelukmu, dan mendengarkan ceritamu tentangnya dengan matamu yang berbinar seperti masa-masa yang lalu.