Let us find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart ~

Jumat, 27 Februari 2015

Sebuah Kehadiran

Saat kita mencintai seseorang, hal terbaik yang bisa kita berikan padanya adalah kehadiran.

Sebuah kehadiran yang nyata, Di mana kita tidak sibuk sendiri dengan masa lalu maupun masa depan. Kita hadir hadir dan ada hanya untuk orang yang kita cintai.

Itu saja.

Sering kali, saat bertemu dengan orang yang kita cintai dan sayangi, secara fisik kita memang hadir dan ada bersama dengannya, tetapi pikiran kita tidak.

Kita bergelisah dengan apa yang telah terjadi. Entah pekerjaan yang belum selesai maupun khawatir dengan apa yang sudah direncanakan.

Kehadiran secara utuh : diri, tubuh, juga pikiran adalah hal terbaik yang bisa kita berikan kepada orang yang kita cintai dan sayangi.

Peluklah orang yang kita cintai dengan kesadaran penuh yang kita punya. Berdetik kemudian, ia akan seperti bunga yang mekar.

Kita hadir dan ada hanya untuk orang yang kita cintai.

Kutipan dari buku Sejenak Hening, Adjie Silarus. Kalimat yang indah yang mengingatkan sekaligus menyentil sekeping hati saya dengan halus namun dalam. Ibu, bapak, keluarga, sahabat, engkau, semuanya terngiang-ngiang di pikiranku.

Tekadku, akan kuhadirkan aku kepadamu, dengan aku yang utuh, tanpa masa lalu dan masa depanku. Hanya sebuah kehadiran di masa sekarang, antara aku, dan orang-orang terkasih.

 Demi masa depan yang telah kulewati bersama segenap orang-orang yang masih berada dalam masa sekarangku, serta demi masa depan yang akan kuhabiskan dengan orang-orang yang kutemui dalam masa sekarangku.

Untukmu, aku ingin berkata banyak maaf. Sebuah kehadiranku seringkali membawa pikiran lain yang berusaha kau terka. Yang berbumbu kenangan masa lalu, dan terkadang kekhawatiran masa depan. Tolong beri aku kesempatan untuk terus di sampingmu, berdampingan denganmu, dan aku akan melaksanakan tekadku, Mas.

Bismillaah, Sabtu yang indah. ~

*Aku yang menyesal hanya menatapmu sebentar sekali, Fauziyah Suci Nurani

Kamis, 12 Februari 2015

Teruntuk Ibuku Terkasih

Dan pagi ini, aku tercekat membaca pesan singkat yang Ibu kirim. "......Maafke Ibu ya Nduk....." Ah, Ibuku memang selalu begitu. Seorang Ibu yang tak pernah merasa cukup baik padahal kebaikannya luar biasa. Ibu yang selalu ingin melakukan banyak hal untuk putra putrinya, dan seringkali merasa bersalah ketika ia merasa tak mampu melakukan sesuatu.

Ibuku terkasih, dengarkan putrimu ini berkisah..

Dulu, ada seorang wanita yang selalu mengepang rambutku setiap pagi. Membelikanku pita warna warni bermeter-meter, lalu menalikannya di rambutku, sesuai permintaanku.
Lalu, ada pula seorang wanita yang membelikanku banyak buku, pensil warna, spidol, kertas origami. Mengajariku untuk mewarnai yang tidak melewati garis dan kemudian menempelkannya di dinding dapur saat kau membuatkanku sup untuk makan siang.
Kemudian, ada seorang wanita yang tidak pernah lelah menjawab anak gadisnya tentang banyak hal, dengan pertanyaan yang tak pernah berhenti. Menjawab dengan sabar, menjelaskan dengan gamblang, dan menyisipkan nilai-nilai kebaikan.
Ada seorang wanita yang setiap shalat mendoakanku, mengirimiku bahagia, kekuatan, keteguhan, serta ketekunan untuk menjalani hidup yang tidak selamanya semudah membalikkan tangan yang bertelapak

Ibuku terkasih, ketika aku mulai dewasa dan semakin mengerti keadaanku, aku ingin mengatakan ini

Selalu ada seorang wanita yang gigih berjuang demi anak-anaknya
Selalu bangun lebih pagi dan memastikan kami akan ke sekolah dengan perut kenyang
Selalu tidur lebih larut dan memastikan kami telah terlelap dalam keadaan hangat
Selalu ada wanita yang khawatir kami sakit dan lelah

Ibuku terkasih, ketika kini aku sudah dewasa dan benar-benar mengerti keadaanku, izinkan aku tidak melewatkan kalimat ini

Bahwa selalu ada wanita yang mengajariku tetap bertahan dalam keadaan yang sesulit apapun
Mengajariku sebuah penerimaan yang utuh dan kesetiaan yang penuh
Memberi pengertian tentang kasih dan sayang yang tak berpamrih
Aku tak bisa mengibaratkanmu dengan apapun juga yang ada di dunia ini, Ibu
Bagiku, kau lebih

Ibuku terkasih, aku bukan lagi anakmu yang mungil
Yang anteng di depan majalah bekas atau koran bungkus tempe
Yang masuk angin ketika seminggu berangkat sekolah jalan kaki
Yang minta jalan-jalan setiap kali bulan Agustus

Ibuku terkasih, aku kini sudah menjadi putrimu yang dewasa
Aku tumbuh menjadi seorang gadis yang punya banyak asa
Hingga seringkali kudapati Engkau menagis sembunyi-sembunyi karena melarangku ini itu
Aku tahu maksudmu, Ibu
Aku tahu kau melakukannya karena kau menyayangiku

Aku tumbuh menjadi seorang gadis yang kerap kali ingin melakukan banyak hal
Yang kau tidak berkenan tapi kau tetap tersenyum dan mengiyakan
Terimakasih Ibu, kau tahu setiap jengkal perjuanganku adalah demi dirimu

Ibuku terkasih, doamu, restumu, semuanya adalah senjata untuk kehidupanku hingga kini...
Harusnya aku yang minta maaf, bukan Engkau yang mencintaiku dengan sempurna
Maaf karena aku terlalu merepotkan
Maaf karena aku memiliki terlalu banyak keinginan
Maaf karena aku tak bisa memberikan banyak waktu untukmu
Maaf karena aku tak mampu banyak membantu urusanmu

Maaf, aku hanya bisa berbisik kepada bumi di setiap sujud yang ku jaga siang malam, menyebut namamu dengan balutan cinta yang tak sesempurna cintamu padaku, memohonkan kebaikan, keberkahana, cinta kasih, dan surga untukmu. Aku yakin bisikanku melambung tinggi melangit, karena aku menyampaikannya dengan bahasa lisan dan hati, 2 bahasa yang Allaah mengerti dengan pasti.

Ibuku terkasih, Aku mencintaimu karena Allaah, sangat mencintaimu karena Allaah :')

*putrimu
yang tidak bisa diam dan merepotkan, seorang bayi mungil yang kau beri nama Suci

Senin, 02 Februari 2015

Memandangmu, Membiarkan Rasaku Bicara

Untuk sebuah keadaan yang begitu menyulitkan, aku bersyukur. Aku biarkan hatiku menjadi lebih kuat, lebih tegar, lebih sabar, seperti sebuah hati yang ada dicerita wanita-wanita luar biasa yang ditakdirkan untuk seorang raja bijaksana.
                Aku bertanya awalnya, apakah aku pernah menginginkan ini? Maksudku, menginginkan keadaan yang menempatkanku di sampingmu, lalu aku menjatuhkan hatiku padamu? Apa aku pernah bilang pada Tuhan untuk semuanya ini?
                Kerap kali dalam setiap doaku, aku selalu ingin menjadi seorang wanita yang mengasihi seseorang dengan kekayaan hati, kekayaan ilmu, kekayaan amal. Seseorang sederhana yang bisa menemaniku tertawa di mana saja. Di jalan-jalan yang aku lewati, di tempat-tempat yang aku kunjungi : di kampus, di depan kelas, di bangku taman, di warung makan. Seseorang sederhana yang mengirimku sebait kata yang manis setiap pagi, mencipta mood positif bagiku seseorang yang moody sepertiku. Seseorang yang sederhana yang memberi tahu semua orang bahwa ia menyayangiku, dan akupun menyayanginya. Seseorang dengan mata, hidung, senyum, yang sederhana yang terlalu sempurna untuk dilupa.
                *aku berhenti menulis. Aku memandangmu dari kejauhan. Mencoba menelisik alasan yang ada pada dirimu, sehingga meninggalkanmu aku tak mampu.
                Aku melihatmu diantara sahabat-sahabatmu. Apakah kau bahagia, Mas? Iya, kau nampak bahagia. Ketika bersamaku, apa kau sebahagia itu? Mata yang menyipit dan bibir yang menyungging sempurna ke atas. Kau tersenyum. Aku ikut bahagia.
                Aku memandangmu dari kejauhan. Diam, membiarkan segala sesak ini sedikit demi sedikit terkurangi. Mencoba ikut tertawa dan bahagia. Aku biarkan hatiku menemukan kebahagiaannya. Aku biarkan hatiku menajamkan rasanya. Aku biarkan hatiku berdialog dengan bahasanya yang tanpa dusta. Aku ingin hatiku merasa bahagia.
                Tanpa titik airmata. Aku ingin menyelesaikan tulisan ini tanpa airmata. Tawamu semakin menjadi, semoga benar-benar bahagia. Bukankah seseorang akan bahagia jika melihat orang yang disayanginya juga bahagia?
                Ah, kau pergi. Sepertinya memang tidak baik terus membiarkan mataku memandangmu dalam jarak sejauh ini. Tunggu, kau pergi bersama sahabat-sahabatmu. Apakah aku ikut bersamamu? Apakah kau sisakan sedikit tempat untukku. Tempat yang kupesan sejak aku memutuskan untuk bersamamu. Tempat itu, sedikit saja ruang tepat disampingmu. Apa aku ikut bersamamu?
*aku berhenti seejenak. Menatap tempat itu tanpa dirimu.
                Tidak lebih baik, tak lagi ada yang menarik perhatianku. Aku lanjutkan tulisan ini.
                Kau bukan orang sederhana itu. Kau kompleks dengan segala rupa kegiatan yang menyita waktumu, waktu kita. Kau mungkin lebih banyak membagi cerita bersama mereka. Dan saat aku benar-benar ingin berkata banyak hal, kau tidak ada, atau kau ada sementara waktumu tidak tepat. Apa aku boleh marah, sejenak saja? Tidak. Andai marah berguna, aku tetap tidak akan melakukannya.
                Kau bukan orang sederhana itu. Begitulah akhirnya hatiku berbicara. Jika kau orang itu, kau tidak akan membiarkanku dan segenap rasa ini hanya memandangmu dari jauh. Kau akan datang padaku, menanyakan apa kabarku, dan meminta teh hijau yang katanya sudah kau tunggu sejak berhari-hari yang lalu.
                Kau bukan orang sederhana itu. Kau bukan orang sederhana itu. Kau bukan orang sederhana itu.
*lagi, aku berhenti menulis dan aku melihat tempat itu. Sama saja, tidak semenarik ketika kau di situ.
                Harusnya tidak begitu. Kalau kau bukan orang sederhana itu, harusnya tempat itu tetap terlihat menarik. Mungkin, kau adalah orang sederhana itu. Sepertinya iya. Hanya saja, sebuah waktu yang belum kunjung memberitahuku. Iya, kau orang sederhana itu. Tuhan sepertinya sedang menyiapkanmu untuk itu. Semoga saja. Iya, kau orang sederhana itu, Mas.

*di balik jendela

*dari yang mengharapkan kau datang dan membimbingku menuju bahagia, Fauziyah Suci Nurani