Untuk sebuah keadaan yang begitu menyulitkan, aku bersyukur.
Aku biarkan hatiku menjadi lebih kuat, lebih tegar, lebih sabar, seperti sebuah
hati yang ada dicerita wanita-wanita luar biasa yang ditakdirkan untuk seorang
raja bijaksana.
Aku
bertanya awalnya, apakah aku pernah menginginkan ini? Maksudku, menginginkan
keadaan yang menempatkanku di sampingmu, lalu aku menjatuhkan hatiku padamu?
Apa aku pernah bilang pada Tuhan untuk semuanya ini?
Kerap
kali dalam setiap doaku, aku selalu ingin menjadi seorang wanita yang mengasihi
seseorang dengan kekayaan hati, kekayaan ilmu, kekayaan amal. Seseorang
sederhana yang bisa menemaniku tertawa di mana saja. Di jalan-jalan yang aku
lewati, di tempat-tempat yang aku kunjungi : di kampus, di depan kelas, di
bangku taman, di warung makan. Seseorang sederhana yang mengirimku sebait kata
yang manis setiap pagi, mencipta mood positif bagiku seseorang yang moody
sepertiku. Seseorang yang sederhana yang memberi tahu semua orang bahwa ia
menyayangiku, dan akupun menyayanginya. Seseorang dengan mata, hidung, senyum,
yang sederhana yang terlalu sempurna untuk dilupa.
*aku
berhenti menulis. Aku memandangmu dari kejauhan. Mencoba menelisik alasan yang
ada pada dirimu, sehingga meninggalkanmu aku tak mampu.
Aku
melihatmu diantara sahabat-sahabatmu. Apakah kau bahagia, Mas? Iya, kau nampak
bahagia. Ketika bersamaku, apa kau sebahagia itu? Mata yang menyipit dan bibir
yang menyungging sempurna ke atas. Kau tersenyum. Aku ikut bahagia.
Aku memandangmu
dari kejauhan. Diam, membiarkan segala sesak ini sedikit demi sedikit
terkurangi. Mencoba ikut tertawa dan bahagia. Aku biarkan hatiku menemukan
kebahagiaannya. Aku biarkan hatiku menajamkan rasanya. Aku biarkan hatiku
berdialog dengan bahasanya yang tanpa dusta. Aku ingin hatiku merasa bahagia.
Tanpa
titik airmata. Aku ingin menyelesaikan tulisan ini tanpa airmata. Tawamu
semakin menjadi, semoga benar-benar bahagia. Bukankah seseorang akan bahagia
jika melihat orang yang disayanginya juga bahagia?
Ah, kau
pergi. Sepertinya memang tidak baik terus membiarkan mataku memandangmu dalam
jarak sejauh ini. Tunggu, kau pergi bersama sahabat-sahabatmu. Apakah aku ikut
bersamamu? Apakah kau sisakan sedikit tempat untukku. Tempat yang kupesan sejak
aku memutuskan untuk bersamamu. Tempat itu, sedikit saja ruang tepat
disampingmu. Apa aku ikut bersamamu?
*aku berhenti seejenak. Menatap tempat itu tanpa dirimu.
Tidak
lebih baik, tak lagi ada yang menarik perhatianku. Aku lanjutkan tulisan ini.
Kau
bukan orang sederhana itu. Kau kompleks dengan segala rupa kegiatan yang
menyita waktumu, waktu kita. Kau mungkin lebih banyak membagi cerita bersama
mereka. Dan saat aku benar-benar ingin berkata banyak hal, kau tidak ada, atau
kau ada sementara waktumu tidak tepat. Apa aku boleh marah, sejenak saja?
Tidak. Andai marah berguna, aku tetap tidak akan melakukannya.
Kau
bukan orang sederhana itu. Begitulah akhirnya hatiku berbicara. Jika kau orang
itu, kau tidak akan membiarkanku dan segenap rasa ini hanya memandangmu dari
jauh. Kau akan datang padaku, menanyakan apa kabarku, dan meminta teh hijau
yang katanya sudah kau tunggu sejak berhari-hari yang lalu.
Kau
bukan orang sederhana itu. Kau bukan orang sederhana itu. Kau bukan orang
sederhana itu.
*lagi, aku berhenti menulis dan aku melihat tempat itu. Sama
saja, tidak semenarik ketika kau di situ.
Harusnya
tidak begitu. Kalau kau bukan orang sederhana itu, harusnya tempat itu tetap
terlihat menarik. Mungkin, kau adalah orang sederhana itu. Sepertinya iya.
Hanya saja, sebuah waktu yang belum kunjung memberitahuku. Iya, kau orang
sederhana itu. Tuhan sepertinya sedang menyiapkanmu untuk itu. Semoga saja.
Iya, kau orang sederhana itu, Mas.
*di balik jendela
*dari yang mengharapkan kau datang dan membimbingku menuju bahagia,
Fauziyah Suci Nurani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar