Let us find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart ~

Jumat, 17 Juni 2016

Kepada yang [pernah] Ku Jatuhi Hati



Tentang perasaan. Ku kira ia mutlak sampai kapanpun. Setelah mengenalmu, perasaan ternyata seperti langit yang menerang dan menggelap di bawah kekuasaan Sang Maha Maha, Tuhan yang manusia puja.

Lantas aku bisa apa? Menunggumu lagi dengan remah-remah kenangan yang manis sekaligus menyisakan tangis? Mencintai segala waktu yang sudah tertinggal terlalu di belakang sedangkan kau dan kisahmu tidak akan pernah kembali lagi ke sana?

Aku, lagi-lagi hanya seseorang yang memebiarkan diriku memunguti sisa rasa. Menanggung segala sakit di tempat yang harusnya menjadi sumber bahagia dan kebaikan.

Aku, lagi lagi gadis yang dibodohkan oleh semua orang. Meratapi takdir yang tidak pantas diratapi. Bertahan pada sebuah kondisi yang telah lama pergi.

Pada malam-malam yang terasa sangat panjang dan menghancurkan. Aku katakan bahwa akulah gadis kuat yang akan melewatimu seperti teguhnya Trece dan Four menghancurkan faksi-faksi. Akan kukumpulkan segala energy baik dari empat elemen kemudian membiarkannya membentengiku dari segala hal yang kau sebut masa lalu.

Padamu yang [pernah] ku jatuhi hati, sudahlah karena segalanya tak sama lagi. Aku dengan prinsipku yang entah bisa atau tidak kau maklumi. Aku bukan lagi gadis kecil yang menunggu seseorang di pinggir toko ketika hujan turun deras sekali. Aku akan menembusnya dan menghampiri siapapun iu, yang ingin kutemui. Aku bukan lagi gadis yang mencari tangan berlilinmu, saat gulita pekat mencekat aliran nafas dalam diri. Aku akan membawa lilinku sendiri dengan tanganku sendiri. Tak perlu orang lain menuntunku, aku bisa menemukan jalan keluarku sendiri.

Padamu yang [pernah] kujatuhi hati, aku tak akan sekuat ini tanpamu. Menangis hingga tidak sadar dahaga dan mata berlipat-lipat kali besarnya. Bersedih hingga tak memedulikan orang lain, kecuali sebuah hati. Kini, aku bisa hidup dengan diriku sendiri. Kau tinggalkan, aku bukan menjadi mati. Terimakasih.

Tentang perasaan. Ku kira ia mutlak sampai kapanpun. Setelah mengenalmu, perasaan ternyata seperti langit yang menerang dan menggelap di bawah kekuasaan Sang Maha Maha, Tuhan yang manusia puja.

Sabtu, 05 Maret 2016

Saksi : Sebuah Puisi

Dulu sekali, hujan pernah sederas ini
Hujan yang menahan kita sejenak dan sejenak lagi
Hingga tak ada tempat kering untuk pergi
Ia bersaksi, betapa semakin banyak kita berbincang, semakin banyak beda yang tidak lagi tertutupi

Kau suka kopi, dan aku benci
Aku suka bunga matahari, dan kau menertawai
Kau suka segala yang bersih, aku iseng mengotori
Aku suka buku fiksi, dan kau bilang aku terlalu banyak mimpi
Kau suka bicara tentang keniscayaan, aku lebih bahagia ketika membincangkan khayalan
Aku suka main ayunan, kau lebih memilih bangku taman
Kau idealis, aku melankolis
Aku suka makan donat yang manis dan tenang, kau lebih suka kerupuk yang gurih dan ramai
Kau seorang aktivis, aku seorang akademis
Aku seorang pecinta senja, sedaangkan kau suka pagi
Kau suka huruf sambung-sambung, aku suka huruf pisah-pisah
Aku suka daun basah, kau mengusapnya supaya kering
Aku suka memeluk anak-anak, kau suka bertemu dengan orang dewasa
Aku suka melow drama, kau lebih suka film aksi
Kau suka cemberut tiba-tiba, aku sering tertawa terbahak-bahak begitu saja
Aku bicara banyak tentang bulu tangkis, kau justru membaca berita bola
Kau banyak menonton monolog informasi yang mengedukasi, aku kau larang menonton lucunya variety
Aku suka puisi panjang para penyair, kau suka teks pidato berlembar para pemimpin negara

Ajaibnya, ada rasa bahagia yang sama-sama
Sederhana, hanya duduk bersama denga buku  yang tidak sama
Bukumu buku tebalnya Azyumardi Azra, bukuku cerita cintanya Afifah Afra
Sederhana, hanya bersama-sama bersitatap dengan layar laptop kita
Aku menulis kisah penuh majas nan berima, kau menulis esai mengandung fakta-fakta

Ajaibnya, ada waktu yang tak terasa
Semoga awet, dipanjangkan dan diberkahkan segala waktu bersama
Lalu, aku bisa makan krupukmu dan kau kubagi donatku
Kau dengarkanlah aku berorasi kemudian kau harus membacakanku berpuisi
Kutemani kau meminum kopi, dan kau beri aku bunga matahari

Ah...
Dulu sekali, hujan pernah sederas ini
Hujan yang menahan kita sejenak dan sejenak lagi
Hingga tak ada tempat kering untuk pergi

Ia bersaksi, betapa semakin banyak kita berbincang, semakin banyak beda yang tidak lagi tertutupi