Let us find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart ~

Sabtu, 31 Januari 2015

Tentang Bahagia

Apakah bahagia itu, Ibu? Tidak ada jawaban. Sejenak hening, lalu Ibuku berkata : "Melihatmu tersenyum, Nak. Itulah bahagia."
Kalau begitu, belikan aku cokelat yang banyak, yang tidak habis dimakan seminggu, Ibu. "Bukan seperti itu, Nak."
Lantas, seperti apa? Aku akan tersenyum dengan sebegitu banyak.
***
Aku tiba-tiba tertohok dengan kata-kata temanku "Kamu memang tidak ditakdirkan untuk bahagia." Aku kaget. Apa iya? Tidak. Bukan seperti itu. Setiap orang pasti ditakdirkan untuk bahagia. Pasti.
Tapi, apa bahagia itu?
***
Aku menelisik jauh ke masa lalu dan masa depan. Apakah bahagia itu ketika dulu aku dibelikan rok bunga-bunga karena nilaiku bagus? Atau saat mbah kakung mengajakku ke pantai dan mengenalkanku pada ombak? Apakah bahagia itu nanti ketika aku lulus kuliah dengan nilai cumlaude? Ataukah ketika akhirnya aku bersujud di kaki Ibu Bapak memohon doa restu untuk menikah?
***
Andai bahagia itu tidak erat kaitannya dengan hati. Aku tidak akan sebingung ini.
***
Apakah bahagia itu, Ibu? Tidak ada jawaban. Sejenak hening, lalu Ibuku berkata : "Melihatmu tersenyum, Nak. Itulah bahagia."
Kalau begitu, belikan aku cokelat yang banyak, yang tidak habis dimakan seminggu, Ibu. "Bukan seperti itu, Nak."
Lantas, seperti apa? Aku akan tersenyum dengan sebegitu banyak.
***

Bahagia. Ba-ha-gi-a. Empat penggal kata, yang kuanggap dulu begitu sederhana. Cukup bersama keluarga dan sahabat-sahabatku. Sekarang, bersama mereka rasanya berbeda. Masih bahagia. Tapi bukan bahagia biasanya.
Aku merindukan bahagia hampir aku lupa rasanya. Tapi aku tidak benar-benar lupa.
***
Aku pernah bahagia. Saat aku jatuh cinta. Saat aku menatap sepasang mata surga. Saat aku melepaskan mbah buyut putri untuk bersama mbah buyut kakung. Saat aku bertemu seseorang yang menguatkan. Saat aku berkata tidak pada seseorang yang mencoba mengatur hidupku.
***
Tentang bahagia, aku hanya ingin sejenak memejamkan mata, mencoba mengingat kembali perasaan itu, lalu bersyukur dan kembali menciptanya. Bahagia, karena Allaah akan bahagia jika aku menciptanya. Tentang bahagia. :)

*Fs. Nurani
*Bilik bahagia
*Dialogue

Jumat, 23 Januari 2015

30 Menit sebelum Ikhlas : Ditulis setelah Kehilangan Baju, Kacamata, dan Rok

“Kau datang dan pergi oh begitu saja, semua ku terima, apa adanya...”
                Sekelumit lagu itu tiba-tiba saja terdendang tepat saat bertanya bagaimana mengikhlaskan. Akhir-akhir ini, aku merasa buruk. Sangat pelupa. Barang yang kutaruh beberapa detik yang lalu, aku lupa begitu saja, padahal aku berusaha mengingatnya. Anehnya, kenyataan hidup yang menyedihkan, walau aku berusaha kuat untuk melupakannya, aku tetap saja mengingatnya. *curhat :p hihi

                                                                                                                                                                                Lagi, kemarin sore, aku mendengar cerita dari adekku di pondok yang baru, adek yang cantik, dan tegarnya luar biasa. Dia punya dua Ibu, bapaknya poligami. Aku tanya gimana perasaannya, dan dia bilang awalnya sakitnya bukan main, tapi dia punya Bunda yang sangat kuat, sangat tegar, sangat ikhlas. "Nak, Ayah itu milik Allaah, Bunda dan kamu juga milik Allaah, jadi Bunda nggak boleh memaksakan kehendak Bunda supaya Ayah jadi milik Bunda seutuhnya. Nggak akan pernah bisa." Dan kata-kata itu merasuk ke relung hati adekku itu. Perlahan-lahan, ia menerima kehadiran Ibu keduanya yang ia panggil Umi. 

            Dan aku ingin merasakan keikhlasan yang demikian itu. Bukan berarti aku ingin dimadu oleh suamiku nanti, buka itu. Penerimaan dan kesadaran bahwa segala hal ialah milik Allaah dan Ia yang berhak untuk mengatur apa yang menjadi kepunyaanNya. Itu yang ingin aku miliki.

             Beberapa waktu belakangan, aku sering kehilangan sesuatu. Barang-barang yang sebenarnya bisa aku beli lagi. Lebih bagus dari sebelumnya. Tapi ketika kehilangan, aku pasti marah-marah, bertanya-tanya, badmood, pokoknya aku melakukan hal-hal yang mencerminkan ketidakterimaan. Walau hanya setengah jam biasanya, tapi kan tetap saja.

               Ada banyak kejadian yang dialami oleh orang lain yang lebih buruk daripada itu, sekadar kehilangan baju, kacamata, atau rok, dan mereka saja ikhlas. Bahkan ada yang rela berbagi hati dengan orang lain demi rasa cintanya kepada belahan jiwanya, dan mereka bahagia, karena mereka ikhlas. Tapi aku bagaimana? Menggerutu, berdiam diri, mengingat kenangan benada-benda yang telah hilang itu. Dimana letak keikhlasanku?

             30 menit sebelum aku tersenyum menerima, aku terlebih dahulu meratapi kehilangan, mengingat kenangan dari barang-barang yang hilang, menangis bahkan. Lalu baru bilang ke diriku kalau aku bisa beli yang baru, yang lebih bagus, yang lebih nyaman, dan berjanji akan merawatnya dengan lebih baik, tidak pelupa, tidak ceroboh, seperti yang dikatakan Ibu. Begitulah. 

              Titik keikhlasan itu ketika akhirnya aku rasakan ketika aku merasa tidak apa-apa lagi dengan hilangnya barang-barang itu, merasa baik-baik saja tanpa mereka, bisa move on dari apa yang telah hilang, dan memilih untuk melupakan yang hilang, menggantinya dengan yang baru yang semoga lebih baik. Begitulah. :) 

               Ikhlas sederhana yang aku maksud adalah, mengikhlaskan tiga barang bersejarah yang hilang akhir-akhir ini : Batik ma'had yang kata temen-temen bagus, kacamata yang dibeli bareng bapak, dan rok abu-abu peninggalan mbak2 mahad setahun yang lalu. Ikhlas ya Suci.. Nanti diganti sama Allaah yang lebih baik, cah ayu :)