Hai, seseorang yang sama sekali tidak menyukai buku fiksi. Kenapa Kau takut ketika tahu kekata seseorang itu seperti dialog novel dengan diksinya yang sedemikian rupa?
Tidak tahukah kau siapa sejatinya novel itu?
Bukan siapapun kecuali Engkau.
Kau yang dengan formal tiba-tiba meminta izin menyayangiku dikala malam hingga dini hari Kau tidak bisa tidur sementara aku sudah terlelap dan menyudahi diskusi tentang formalitas menyayangi.
"Aku tegaskan : Aku minta izin menyayangimu dek". Katamu yang masih sangat aku hafal sampai kapanpun.
Tidak tahukah kau siapa sejatinya novel itu?
Bukan siapapun kecuali Engkau.
Kau yang sering minta diajari untuk bersabar dan bersyukur, tapi justeru sebenarnya aku yang belajar banyak tentang kedua hal itu, darimu.
Karena emosiku yang fluktuatif, tidak semua orang betah menyikapinya dengan baik, tapi Kau, segala kata dan lakumu, aku merasa tidak perlu takut untuk menjadi diriku sendiri. Diriku sendiri dengan sabar syukur sabar syukur yang memang harus silih berganti.
Sudah ku bilang, Kaulah sejatinya novel itu.
Yang dengan emot-emotmu, sebuah rasa bahagia dengan ajaib menyusup begitu saja.
Pada malam-malam melelahkan ini, misalnya.sebuah gambar bunga tiba-tiba menerbitkan rindu yang tak berani kukata, seperti biasanya.. hihi
Sudah ku bilang, Kaulah sejatinya novel itu.
Yang mencukupkan aku sebagai temanmu mengembara. Yang tetap memberikan sebuah ruang tepat disebelahmu untukku sejauh apapun kau tapaki perjuanganmu.
Sudah ku bilang, Kaulah novel sejati
Yang membuatku selalu ingin menjadi lebih baik sebagai seorang abdi. Memohon banyak untuk masa masa nanti yang bersama akan kita lewati..
"Namun senyatanya, baru denganmu aku berani menawarkan segenap masa depanku" Katamu kala itu..
Untukmu, Novel yang sejati..
Sudah kuhaturkan doa-doa pengharapan kebaikan, yang akan terus aku lakukan..
Tenang, dan tetap berjuang.
Semoga di manapun kau, selalu banyak cinta yang bertumpah ruah.
Gadis yang sama dan merindukan orang yang sama, yang barusan membangunkan saya di pagi buta
Fauziyah Suci Nurani
Let us find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart ~
Rabu, 02 Desember 2015
Kamis, 26 November 2015
Diakhiri dengan Semoga Berkah
Kau
pernah merasakan bahagia dan malu pada saat yang sama?
Kau pernah merasakan malu dan
bahagia pada saat yang sama?
Kuceritakan padamu, dua moment yang
aku menyebutnya ‘jleb moment’ yakni moment ketika hatimu tertohok malu
sekaligus mengucap syukur kepada Allaah.
Siang itu, pada hari yang aku lupa
tanggal dan tahunnya. Aku hanya ingat hari itu hari Selasa, saat ada sebuah
acara di PKM 2 IAIN Salatiga. Aku bersama seorang adik angkatan jurusan KPI
berbincang. Perbincangan tentang kabar, basa-basi selayaknya orang Indonesia.
Lalu, tentang kemah bela negara yang pernah kami ikuti bersama, lalu tentang
sebuah tulisan blogku yang tiba-tiba dipakai seorang dosen dalam perkuliahan.
Saya tentu senang mendengar cerita adik itu. Tulisan saya, ada manfaatnya
saudara. :D Tapi, berbarengan dengan ‘alhamdulillaah’ yang saya ucap, seketika
itu saya malu ketika ia menyebut sebuah judul tulisan. Tulisan itu, tulisan
tentang seorang dosen yang tidak kunjung masuk dan tidak pula mengabarkan kepada
kami tentang ketidakhadirannya. Kan nggregeti ya. Ditambah saya yang kecil
lemah *ah, hihi* ini harus naik ke lantai tiga. Itu hari pertama kuliah,
semangat belum ada yang tumpah, masih berlimpah ruah, dan tiba-tiba erkotori
oleh rasa greget yang meresahkan. Hiks. Lebih lanjut tentang tulisan *yang true
story* itu, bisa di lihat di blog saya yang sucimahasiswapba.blogspot.com.
Lalu, sontak saya yang rasa ingin tahunya seringkali tidak ketulungan ini
mengorek lebih jauh lagi tentang kejadian di kelas KPInya adik itu. “Terus
gimana dek?” “Kamu baca?” “Pak dosen bilang apa?” “Duh dek, kan itu kan bukan
tulisan pas moodku bagus dek.” Dan “kan... kan... kan... yang lain”. Kalau kau
moody, kau pasti tahu betapa khawatirnya aku ketika itu. Khawatir kalau kata-kataku
ada yang tidak pantas, keceplosan, dan lain-lain yang diluar kendaliku. Hiks..
Bersyukurnya, mereka semua
menanggapi tulisanku dengan baik, dengan positif. Dan kata-kata yang pak dosen
bilang ke mahasiswa, menurut cerita adik itu ialah “Hal-hal yang sederhana,
atau perasaan yang sederhana, dengan kata-kata bisa menjadi hebat, hebatnya
ialah tulisan itu bisa membuat pembaca masuk ke dalam cerita itu. Ikut
merasakan kegelisahan yang penulis rasakan. Mahasiswa KPI gak boleh kalah sama
mahasiswa PBA.” Haha. Alhamdulillaah. Padahal saya menulis waktu itu karena
saya teman-teman terlalu sibuk untuk sekadar diajak bicara.
Yang kedua ialah ketika kau berniat
menulis cerita anak layaknya fairy tale, justeru cerita yang kau niatkan itu
berubah menjadi ceritamu sendiri yang kau fairy tale kan, dan dibaca oleh
seorang dosen yang sedang kau ambil mata kuliahnya. Di kelas, tiba-tiba seorang
dosen itu menyebutkan judul tulisan yang kau masih hafal betul kata-katanya.
Hiks. Serasa ingin mengecil terus masuk tas sebentar terus tasnya biar dibawain
pulang temen terus udah. Hihi. Malu, saudara. Tulisan alay yang
difiktif-fiktifkan dibaca oleh seorang yang sudah menulis 6 buku non fiksi.
Huhu.. Harus lebih selektif lagi nanti-nanti kalo ngeposting tulisan. Tapi terimakasih
Bapak sudah berkenan membaca *entah membaca judulnya apa udah sama isinya*
Semoga judulnya aja. Hihi.. :p
Rabbii.. atas segala yang Kau
anugerahkan pada diri gadis kecil yang selalu sama ini *selalu berusaha lillaah
dan fillaah* terimakasih banyak. Semoga, tulisan yang saya bagi karenaMu ini
bisa bermanfaat bagi orang lain. Minimal, bisa membuat orang senyum-senyum
sendiri, bahagia, apalagi untuk orang-orang yang tahu betapa tidak jelasnya
saya, betapa anehnya saya, semoga mereka semua bahagia membaca tulisan-tulisan
saya *yang seringkali nggalau*. Terimakasih Allaah. “Nuun.. wa al-qalami wa maa
yasthuruun.” Atas semua yang saya ceritakan, saya akan mengakhirinya dengan doa
– Semoga berkah --.
Saya tidak pernah punya cita-cita
berhenti bercerita. Untuk cerita yang kau baca, maaf jika ada salah kata.
Reader, i love you unconditionally.. ^^
Gadis
kecil yang berusaha mencintaiMu segenap dan sebulat mungkin.
Saya, Fauziyah Suci Nurani, dan segala
rasa terimakasih.
Minggu, 11 Oktober 2015
Gadis Penyuka Buku dan Sang Pangeran
Kita tidak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta. Jatuh cinta itu niscaya. Kepastian dari Yang Maha Memastikan. Sebuah rasa yang dijadikan indah di hati para manusia. Sebuah keyakinan yang senyatanya entah tiada tahu dari mana datangnya, melainkan dari Sang Maha Segalanya.
Izinkan aku berkisah tentangnya. Sebuah kata yang di damba ribuan anak adam dan hawa. Cinta. Kisah yang mengharu biru penuh romansa. Kisah yang mendewasakan kalbu dengan problemanya.
Ini kisah cinta seorang gadis penyuka buku. Hobbinya menelusuri huruf demi huruf buku-buku. Waktunya ia gunakan untuk duduk di pojok dan kemudian sembunyi di balik lembar lembar buku. ia juga seorang gadis penggemar sepi. Jarang bicara dengan mulutnya, melainkan dengan kekata penanya. Ia sering berdialog pada penghuni langit pada malam-malamnya, menghadap laptopnya pada pagi harinya, berdiam lama dengan buku pada banyak waktu setelahnya.
Ia bukan gadis yang tidak pernah jatuh cinta. Sayang, jatuh cintanya melukainya. Karenanya, ia kembali bersama kekasih sejatinya, buku buku yang penuh setia dengannya.
Hingga ia bertemu dengan seorang pangeran. Bukan pangeran yang ia baca di buku-bukunya, namun seorang pangeran yang mengaku jatuh cinta padanya, pada pandangan yang hanya sekejap tertuju ke arahnya, dan memintanya mendampinginya. Gadis itu tidak mengerti apa-apa. Ia juga tidak mempercayai apa-apa. Ia mengangin lalukan segala kekata sang pangeran, dan kembali pada bukunya.
Namun, pangeran itu tidak menyerah. Sifatnya yang ksatria lantas membuatnya mengejar gadis itu. singkat cerita, dengan waktu yang tidak sebentar, hati gadis itupun luluh. Perjuangan yang mencuri hatinya, hingga benarpun kalimat lama bahwa, kita tidak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta.
Dicintai dan mencintai seorang pangeran sungguh tidaklah mudah. Seringkali, rindu-rindu tertahan menyesakkan. Seingkali, waktu-waktu berlalu saja begitu. Seringkali, tangis tangis memecah dengan mudah. Banyak rasa yang harus diredam, banyak kata-kata yang mesti dipendam.
Hati gadis itu sering dipermainkan oleh waktu. Hati gadis itu sering dibohongi oleh janji. Semua bukan salah sang pangeran, hanya saja, ada tugas negera dan sekian juta rakyat yang ia perjuangkan.
Baginya, tetap bukulah yang paling setia menjadi temannya. Menjadi tempat keluh kesahnya, menjadi tempatnya mendengarkan cerita-ceria.
Lantas bagaimana cintanya? Dan bagaimanakah sang pangeran mencintai gadis itu?
Dengan doa yang ia langitkan ketika sujudnya. Dengan permohonan yang ia tujukan pada Tuhannya. Dengan gelisah yang ia sandarkan seutuhnya pada yang Maha Segala.
Mereka selalu yakin Tuhan tidak pernah mengabaikan segala pinta. Hingga waktu itu datang. Sebuah pengikraran dan pengikatan. Sebuah pendampingan dan penggenapan. Sebuah ketaatan dan kepatuhan.
Pada bukunya, gadis yang telah menjadi seorang putri itu bercerita begitu banyak. Bahwa, dengan sang pangeran, ia tidak hanya bisa membaca buku-buku yang ia kasihi, namun juga menulis buku-buku yang penuh kasih.
Akhirnya, memang benar bahwa kita tidak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta, tapi kita selalu bisa memilih bagaimana mencintai seseorang yang membuat kita jatuh cinta.
Terimakasih sudah mendengar cerita saya, semoga bermanfaat.
Saya, gadis yang masih sama, selalu mencintaimu..
Fauziyah Suci Nurani
Diantara buku-buku*
Minggu, 19 April 2015
Sempatkanlah 5 Menit Saja, Saya Rindu
Salatiga, 19 April 2015
Selamat Pagi Mas, apa kabar?
Saya menulis ini ketika mendung menyerang. Malas yang berbanding
lurus dengan mendung juga menyerang. Tapi, tidak saya biarkan selimut membebat.
Saya tidak ingin kalah dengan keadaan, seperti kemarin, dan semalam. Ini
rahasia, tapi tidak apa-apa jika Njenengan yang tahu. Saya sudah tidur 10 jam
kemarin, dan bukannya menjadi segar, badan justeru pegal-pegal. Saya kapok.
Mas..
Njenengan sekarang sedang sibuk ya. Bantu-bantu apa? Masang tratak? Bisa? Atau nata kursi? Rapi mboten? Hihi
Mas..
Karena rindu yang menguatkan begitu menguar di relung hati ini
*aih*, keping-keping kenangan membayang dan terangkai apik dalam sebuah bingkai
invisible yang hanya bisa dirasa dan dilihat oleh saya. Bacalah sampai
akhir, dan hitung berapa kali Njenengan tertawa kecil, atau menahan tawa selama
Njenengan membaca surat ini.
Saya mulai dari....
Ketika itu, di auditorium kampus, saya sedang menemani seorang
teman menunaikan kewajibannya. Shalat dzuhur di mushalla mungil di pojok
belakang aula. Dekat dengan tempat saya berdiri, ada sebuah hp yang sedang di charge
dan berisik sekali. Saya tanya sama teman saya, ini hapenya siapa ya dari tadi
bunyi terus tapi tidak ada yang ngurusin. Dan beberapa saat setelah saya
menyelesaikan kalimat saya itu, Njenengan datang, mengambilnya, seperti
membalas beberapa sms, dengan charger yang dibiatkan tetap ‘menginfus’
hape, kemudian menempatkannya kembali.
Saya melihat Njenengan, dan mungkin Njenengan tidak melihat saya. Dan
kembali saya berkata kepada teman saya, mbak itu masnya bajunya garis-garis
kayak zebra. Dan begitu saja, semuanya berlalu, terlupakan, menguap begitu
saja. Tanpa ada rasa apa-apa.
Beberapa waktu kemudian teman saya heboh membuat kuping saya panas.
“kamu di mention di facebook sama dia”. Dan saya tidak peduli.
Lagi, kata-kata itu sambung menyambung dan memaksa saya untuk
melihatnya. Yah, dia itu adalah Njenengan, yang saya yakin iseng menyebut nama
saya, dan saya tidak menyukainya. Bahkan ketika saya melihat foto yang anda
pajang sebagai profile picture, saya tidak mengenali Njenengan.
Hehe
Sekarang, saya berkesimpulan, kalau ternyata daya tarik Njenengan
adalah baju zebra yang Njenengan pakai saat pertama saya melihat Njenengan,
bukan yang lain.
Mas..
Di pojok ruang PKM, seorang kakak mengenalkan kita berdua, mengira
kita belum saling kenal, dan kita bertukar nomor hp. Akhirnya, mulai saat itu
hingga kini, saya dapat merekam wajahmu dengan akurat.
Mas..
Ingatkah ketika Njenengan men-stalking facebook saya?
Memenuhi notification. Dan kabar kalau Njenengan suka sama saya
dikabarkan oleh banyak orang. Mengganggu mas. Padahal saya tidak tahu siapa
Njenengan saat itu. Mbak-mbak dan teman-teman saya bertanya ini itu kepada
saya. Argh...
Dan sms Njenengan mas, ish. Informasi panjang-panjang mengenai
kegiatan UKM yang saya tidak terlibat di dalamnya, dan yang tidak pernah jawab.
Itu juga mengganggu. Tapi sekarang mengingatnya kembali rasanya menjadi lucu.
Saya tertawa kecil, menyadari kini kalimatmu menjadi hal penting
yang saya nanti.
Mas..
Ingat waktu di depan aula lebih dari setahun silam? Saat Njenengan
mengajak saya bertemu untuk membicarakan teman Njenengan yang ingin observasi
di aliyah saya? Yang ketika saya bilang lewat sms saja, tapi Njenengan tetap
mengajak saya bertemu? Haha. Percakapan pertama. Dan entah dari mana, meski
saya mencoba memungkiri, tapi saya benar-benar merasa nyaman duduk dengan
Njenengan. Padahal, kita bingung bagaimana mengalirkan percakapan, kemudian
lebih banyak diam.
Dan setelahnya, walau tidak sering, dan dengan alasan yang entah,
kita bertemu lagi, duduk berdua lagi. Berbicara lagi, mengenai apapun yang
sifatnya entah. Tidak jelas sama sekali.
Mas..
Lalu, saya tertahan di sampingmu. Bahkan saat senja menyuruh saya pulang, jauh di lubuk hati saya, saya tidak
ingin bergeming. Bersama Njenengan terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Dan saya
mulai menguntai harapan. Semoga hujan turun saat kita bersitatap, sehingga
walaupun senja sudah menampakkan ronanya, saya punya alasan untuk bertahan.
Tertahan oleh hujan. Hehe
Mas..
Hari ini, sempatkanlan 5 menitmu untuk membaca surat saya sampai
akhir. Semoga Njenengan bahagia. Masih banyak potongan kejadian yang saya
ingat, tapi biarlah menjadi rahasia kita yang menyenangkan. Atau saya harap,
Njenengan yang akan menuliskannya untuk saya. ^^
Bersyukur atas kasih yang dititipkanNya untuk Njenengan kepada
saya. Alhamdulillaah ‘alaa kulli hal wa kulli surur.
Fs. Nurani
Di depan jendela besar pondok tercinta
Minggu, 05 April 2015
Ternyata Belum *Tidak* Datang
Mengapa kau mengizinkanku menangis saat sekelilingku begitu ramai?
Mengapa kau mengizinkanku kedinginan saat sekelilingku begitu hangat?
Mengapa kau mengizinkanku kehausan saat mata air melimpah?
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih sabar
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih mengalah
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih tabah
Pengertian demi pengertian yang diusahakan ternyata belum cukup
Kecamuk ketidakpahaman justru lebih kuat, kemudian mengamuk
Bagaimana keadaanmu, perasaan?
Mendung sedari tadi, kuharap hujan
Dan kita tertahan di bawahnya
Harapanku bahkan masih sama,
Meski aku tahu ternyata aku lagi yang harus menunggu
Apakah kau akan datang?
Sepertinya tidak
Harusnya aku pergi,
kemudian hatiku tertahan
Aku terlalu sayang pada kerinduan
Atau kerinduan yang begitu menyayangiku?
Ia masih saja menderu
Meski "aku tidak datang" darimu meluluhlantakkan
Ia tetap setia menanti kau datang
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih sabar
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih mengalah
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih tabah
Mengapa kau mengizinkanku menangis saat sekelilingku begitu ramai?
Mengapa kau mengizinkanku kedinginan saat sekelilingku begitu hangat?
Mengapa kau mengizinkanku kehausan saat mata air melimpah?
Mengapa kau mengizinkanku kedinginan saat sekelilingku begitu hangat?
Mengapa kau mengizinkanku kehausan saat mata air melimpah?
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih sabar
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih mengalah
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih tabah
Pengertian demi pengertian yang diusahakan ternyata belum cukup
Kecamuk ketidakpahaman justru lebih kuat, kemudian mengamuk
Bagaimana keadaanmu, perasaan?
Mendung sedari tadi, kuharap hujan
Dan kita tertahan di bawahnya
Harapanku bahkan masih sama,
Meski aku tahu ternyata aku lagi yang harus menunggu
Apakah kau akan datang?
Sepertinya tidak
Harusnya aku pergi,
kemudian hatiku tertahan
Aku terlalu sayang pada kerinduan
Atau kerinduan yang begitu menyayangiku?
Ia masih saja menderu
Meski "aku tidak datang" darimu meluluhlantakkan
Ia tetap setia menanti kau datang
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih sabar
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih mengalah
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih tabah
Mengapa kau mengizinkanku menangis saat sekelilingku begitu ramai?
Mengapa kau mengizinkanku kedinginan saat sekelilingku begitu hangat?
Mengapa kau mengizinkanku kehausan saat mata air melimpah?
*kau akan datang kan?
Rabu, 01 April 2015
Jangan Panggil Aku Begitu Lagi
Pada sebuah bangku kayu
Kisah pecah
Berantah
Tapi aku tak kehilangan satupun kepingan pun
Tanya saja padaku
Apa yang kita lalui saat remaja dulu
Hujan-hujan saat senja, berlari dari teras ke teras
Bermain bola basket di bawah keranjang
Aku yakin kau tidak ingat
Sobekan kertas yang kukumpulkan hanya karena kau yang menyobeknya
Persis seperti kisah kita
Walau berkeping, segmennya tidak ada yang terlewatkan
Aku masih bisa merangkainya, utuh penuh
Hai, kau
Kau katakan akan menemuiku kan?
Atau kau lupa
Atau kau lupa
Ah, kau selalu melupakan hal-hal penting
Jangan-jangan, kau juga lupa aku?
Silahkan saja
Toh, aku tidak akan melupakanmu
Hei..
Jika kau masih saja sering lupa
Jika kau masih saja sering lupa
Kusarankan untuk menyusuri kisah kita
Yang mati suri ketika kita berusaha meraih mimpi
Dan yang terakhir terjadi
Bukankah kau sudah memutuskan dan kemudian aku menyepakati?
Jadi, kuingatkan kau,
Bukankah kau sudah memutuskan dan kemudian aku menyepakati?
Jadi, kuingatkan kau,
Jangan panggil aku begitu lagi
Pahami ini,
Bukankah kau sudah memutuskan dan kemudian aku menyepakati?
Jadi, kuingatkan kau,
Jadi, kuingatkan kau,
Jangan panggil aku begitu lagi
Minggu, 08 Maret 2015
Pheromones
Ehm, setelah sekian lama saya penasaran, saya mendapatkan penjelasannya. Ini tentang aroma tubuh atau aroma keringat, dan sebuah perasaan yang tidak bisa terlupakan.
Pernah dalam suatu waktu dalam hidup, saya merasa bingung dengan diri saya sendiri. Ada beberapa orang yang ketika saya mencium aroma tubuhnya, saya merasa tenang. Yang paling saya senangi adalah aroma tubuh Adik saya. Kalau saya mencium aroma tubuhnya, serasa betapapun badai yang menghadang di jalan saya, saya akan dengan mudah melewatinya.
Lagi, aroma keringat Ibu saya. Ah, saya merindukan beliau. Walau saya jarang-jarang mencium aroma keringatnya, tapi sekali saya menciumnya, efeknya adalah semangat yang tidak kadaluarsa hingga berminggu-minggu berikutnya. Luar biasa.
***
Kau pernah mendengar kata Pheromones? Pheromones adalah hormon yang diproduksi ratu lebah untuk mengenali lebah yang berasal dari kawanannya. Dan ternyata, hormon Pheromones ini juga terdapat dalam diri manusia. Aktivasinya ialah ketika kita mencintai seseorang, dengan tulus. Secara otomatis, ketika bersama dengan orang-orang yang kita cintai, tubuh kita akan mengeluarkan aroma tertentu. Aroma yang membuat orang yang mencintaimu bahagia, tenang, dan betah berlama-lama denganmu.
*Kenapa aku menyukai aroma adek dan ibuku? Kau pasti tahu jawabannya. :)
Pernah dalam suatu waktu dalam hidup, saya merasa bingung dengan diri saya sendiri. Ada beberapa orang yang ketika saya mencium aroma tubuhnya, saya merasa tenang. Yang paling saya senangi adalah aroma tubuh Adik saya. Kalau saya mencium aroma tubuhnya, serasa betapapun badai yang menghadang di jalan saya, saya akan dengan mudah melewatinya.
Lagi, aroma keringat Ibu saya. Ah, saya merindukan beliau. Walau saya jarang-jarang mencium aroma keringatnya, tapi sekali saya menciumnya, efeknya adalah semangat yang tidak kadaluarsa hingga berminggu-minggu berikutnya. Luar biasa.
***
Kau pernah mendengar kata Pheromones? Pheromones adalah hormon yang diproduksi ratu lebah untuk mengenali lebah yang berasal dari kawanannya. Dan ternyata, hormon Pheromones ini juga terdapat dalam diri manusia. Aktivasinya ialah ketika kita mencintai seseorang, dengan tulus. Secara otomatis, ketika bersama dengan orang-orang yang kita cintai, tubuh kita akan mengeluarkan aroma tertentu. Aroma yang membuat orang yang mencintaimu bahagia, tenang, dan betah berlama-lama denganmu.
*Kenapa aku menyukai aroma adek dan ibuku? Kau pasti tahu jawabannya. :)
Jumat, 27 Februari 2015
Sebuah Kehadiran
Saat kita mencintai seseorang, hal terbaik yang bisa kita berikan padanya adalah kehadiran.
Sebuah kehadiran yang nyata, Di mana kita tidak sibuk sendiri dengan masa lalu maupun masa depan. Kita hadir hadir dan ada hanya untuk orang yang kita cintai.
Itu saja.
Sering kali, saat bertemu dengan orang yang kita cintai dan sayangi, secara fisik kita memang hadir dan ada bersama dengannya, tetapi pikiran kita tidak.
Kita bergelisah dengan apa yang telah terjadi. Entah pekerjaan yang belum selesai maupun khawatir dengan apa yang sudah direncanakan.
Kehadiran secara utuh : diri, tubuh, juga pikiran adalah hal terbaik yang bisa kita berikan kepada orang yang kita cintai dan sayangi.
Peluklah orang yang kita cintai dengan kesadaran penuh yang kita punya. Berdetik kemudian, ia akan seperti bunga yang mekar.
Kutipan dari buku Sejenak Hening, Adjie Silarus. Kalimat yang indah yang mengingatkan sekaligus menyentil sekeping hati saya dengan halus namun dalam. Ibu, bapak, keluarga, sahabat, engkau, semuanya terngiang-ngiang di pikiranku.
Tekadku, akan kuhadirkan aku kepadamu, dengan aku yang utuh, tanpa masa lalu dan masa depanku. Hanya sebuah kehadiran di masa sekarang, antara aku, dan orang-orang terkasih.
Demi masa depan yang telah kulewati bersama segenap orang-orang yang masih berada dalam masa sekarangku, serta demi masa depan yang akan kuhabiskan dengan orang-orang yang kutemui dalam masa sekarangku.
Untukmu, aku ingin berkata banyak maaf. Sebuah kehadiranku seringkali membawa pikiran lain yang berusaha kau terka. Yang berbumbu kenangan masa lalu, dan terkadang kekhawatiran masa depan. Tolong beri aku kesempatan untuk terus di sampingmu, berdampingan denganmu, dan aku akan melaksanakan tekadku, Mas.
Bismillaah, Sabtu yang indah. ~
*Aku yang menyesal hanya menatapmu sebentar sekali, Fauziyah Suci Nurani
Sebuah kehadiran yang nyata, Di mana kita tidak sibuk sendiri dengan masa lalu maupun masa depan. Kita hadir hadir dan ada hanya untuk orang yang kita cintai.
Itu saja.
Sering kali, saat bertemu dengan orang yang kita cintai dan sayangi, secara fisik kita memang hadir dan ada bersama dengannya, tetapi pikiran kita tidak.
Kita bergelisah dengan apa yang telah terjadi. Entah pekerjaan yang belum selesai maupun khawatir dengan apa yang sudah direncanakan.
Kehadiran secara utuh : diri, tubuh, juga pikiran adalah hal terbaik yang bisa kita berikan kepada orang yang kita cintai dan sayangi.
Peluklah orang yang kita cintai dengan kesadaran penuh yang kita punya. Berdetik kemudian, ia akan seperti bunga yang mekar.
Kita hadir dan ada hanya untuk orang yang kita cintai.
Kutipan dari buku Sejenak Hening, Adjie Silarus. Kalimat yang indah yang mengingatkan sekaligus menyentil sekeping hati saya dengan halus namun dalam. Ibu, bapak, keluarga, sahabat, engkau, semuanya terngiang-ngiang di pikiranku.
Tekadku, akan kuhadirkan aku kepadamu, dengan aku yang utuh, tanpa masa lalu dan masa depanku. Hanya sebuah kehadiran di masa sekarang, antara aku, dan orang-orang terkasih.
Demi masa depan yang telah kulewati bersama segenap orang-orang yang masih berada dalam masa sekarangku, serta demi masa depan yang akan kuhabiskan dengan orang-orang yang kutemui dalam masa sekarangku.
Untukmu, aku ingin berkata banyak maaf. Sebuah kehadiranku seringkali membawa pikiran lain yang berusaha kau terka. Yang berbumbu kenangan masa lalu, dan terkadang kekhawatiran masa depan. Tolong beri aku kesempatan untuk terus di sampingmu, berdampingan denganmu, dan aku akan melaksanakan tekadku, Mas.
Bismillaah, Sabtu yang indah. ~
*Aku yang menyesal hanya menatapmu sebentar sekali, Fauziyah Suci Nurani
Kamis, 12 Februari 2015
Teruntuk Ibuku Terkasih
Dan pagi ini, aku tercekat membaca pesan singkat yang Ibu kirim. "......Maafke Ibu ya Nduk....." Ah, Ibuku memang selalu begitu. Seorang Ibu yang tak pernah merasa cukup baik padahal kebaikannya luar biasa. Ibu yang selalu ingin melakukan banyak hal untuk putra putrinya, dan seringkali merasa bersalah ketika ia merasa tak mampu melakukan sesuatu.
Ibuku terkasih, dengarkan putrimu ini berkisah..
Dulu, ada seorang wanita yang selalu mengepang rambutku setiap pagi. Membelikanku pita warna warni bermeter-meter, lalu menalikannya di rambutku, sesuai permintaanku.
Lalu, ada pula seorang wanita yang membelikanku banyak buku, pensil warna, spidol, kertas origami. Mengajariku untuk mewarnai yang tidak melewati garis dan kemudian menempelkannya di dinding dapur saat kau membuatkanku sup untuk makan siang.
Kemudian, ada seorang wanita yang tidak pernah lelah menjawab anak gadisnya tentang banyak hal, dengan pertanyaan yang tak pernah berhenti. Menjawab dengan sabar, menjelaskan dengan gamblang, dan menyisipkan nilai-nilai kebaikan.
Ada seorang wanita yang setiap shalat mendoakanku, mengirimiku bahagia, kekuatan, keteguhan, serta ketekunan untuk menjalani hidup yang tidak selamanya semudah membalikkan tangan yang bertelapak
Ibuku terkasih, ketika aku mulai dewasa dan semakin mengerti keadaanku, aku ingin mengatakan ini
Selalu ada seorang wanita yang gigih berjuang demi anak-anaknya
Selalu bangun lebih pagi dan memastikan kami akan ke sekolah dengan perut kenyang
Selalu tidur lebih larut dan memastikan kami telah terlelap dalam keadaan hangat
Selalu ada wanita yang khawatir kami sakit dan lelah
Ibuku terkasih, ketika kini aku sudah dewasa dan benar-benar mengerti keadaanku, izinkan aku tidak melewatkan kalimat ini
Bahwa selalu ada wanita yang mengajariku tetap bertahan dalam keadaan yang sesulit apapun
Mengajariku sebuah penerimaan yang utuh dan kesetiaan yang penuh
Memberi pengertian tentang kasih dan sayang yang tak berpamrih
Aku tak bisa mengibaratkanmu dengan apapun juga yang ada di dunia ini, Ibu
Bagiku, kau lebih
Ibuku terkasih, aku bukan lagi anakmu yang mungil
Yang anteng di depan majalah bekas atau koran bungkus tempe
Yang masuk angin ketika seminggu berangkat sekolah jalan kaki
Yang minta jalan-jalan setiap kali bulan Agustus
Ibuku terkasih, aku kini sudah menjadi putrimu yang dewasa
Aku tumbuh menjadi seorang gadis yang punya banyak asa
Hingga seringkali kudapati Engkau menagis sembunyi-sembunyi karena melarangku ini itu
Aku tahu maksudmu, Ibu
Aku tahu kau melakukannya karena kau menyayangiku
Aku tumbuh menjadi seorang gadis yang kerap kali ingin melakukan banyak hal
Yang kau tidak berkenan tapi kau tetap tersenyum dan mengiyakan
Terimakasih Ibu, kau tahu setiap jengkal perjuanganku adalah demi dirimu
Ibuku terkasih, doamu, restumu, semuanya adalah senjata untuk kehidupanku hingga kini...
Harusnya aku yang minta maaf, bukan Engkau yang mencintaiku dengan sempurna
Maaf karena aku terlalu merepotkan
Maaf karena aku memiliki terlalu banyak keinginan
Maaf karena aku tak bisa memberikan banyak waktu untukmu
Maaf karena aku tak mampu banyak membantu urusanmu
Maaf, aku hanya bisa berbisik kepada bumi di setiap sujud yang ku jaga siang malam, menyebut namamu dengan balutan cinta yang tak sesempurna cintamu padaku, memohonkan kebaikan, keberkahana, cinta kasih, dan surga untukmu. Aku yakin bisikanku melambung tinggi melangit, karena aku menyampaikannya dengan bahasa lisan dan hati, 2 bahasa yang Allaah mengerti dengan pasti.
Ibuku terkasih, Aku mencintaimu karena Allaah, sangat mencintaimu karena Allaah :')
*putrimu
yang tidak bisa diam dan merepotkan, seorang bayi mungil yang kau beri nama Suci
Ibuku terkasih, dengarkan putrimu ini berkisah..
Dulu, ada seorang wanita yang selalu mengepang rambutku setiap pagi. Membelikanku pita warna warni bermeter-meter, lalu menalikannya di rambutku, sesuai permintaanku.
Lalu, ada pula seorang wanita yang membelikanku banyak buku, pensil warna, spidol, kertas origami. Mengajariku untuk mewarnai yang tidak melewati garis dan kemudian menempelkannya di dinding dapur saat kau membuatkanku sup untuk makan siang.
Kemudian, ada seorang wanita yang tidak pernah lelah menjawab anak gadisnya tentang banyak hal, dengan pertanyaan yang tak pernah berhenti. Menjawab dengan sabar, menjelaskan dengan gamblang, dan menyisipkan nilai-nilai kebaikan.
Ada seorang wanita yang setiap shalat mendoakanku, mengirimiku bahagia, kekuatan, keteguhan, serta ketekunan untuk menjalani hidup yang tidak selamanya semudah membalikkan tangan yang bertelapak
Ibuku terkasih, ketika aku mulai dewasa dan semakin mengerti keadaanku, aku ingin mengatakan ini
Selalu ada seorang wanita yang gigih berjuang demi anak-anaknya
Selalu bangun lebih pagi dan memastikan kami akan ke sekolah dengan perut kenyang
Selalu tidur lebih larut dan memastikan kami telah terlelap dalam keadaan hangat
Selalu ada wanita yang khawatir kami sakit dan lelah
Ibuku terkasih, ketika kini aku sudah dewasa dan benar-benar mengerti keadaanku, izinkan aku tidak melewatkan kalimat ini
Bahwa selalu ada wanita yang mengajariku tetap bertahan dalam keadaan yang sesulit apapun
Mengajariku sebuah penerimaan yang utuh dan kesetiaan yang penuh
Memberi pengertian tentang kasih dan sayang yang tak berpamrih
Aku tak bisa mengibaratkanmu dengan apapun juga yang ada di dunia ini, Ibu
Bagiku, kau lebih
Ibuku terkasih, aku bukan lagi anakmu yang mungil
Yang anteng di depan majalah bekas atau koran bungkus tempe
Yang masuk angin ketika seminggu berangkat sekolah jalan kaki
Yang minta jalan-jalan setiap kali bulan Agustus
Ibuku terkasih, aku kini sudah menjadi putrimu yang dewasa
Aku tumbuh menjadi seorang gadis yang punya banyak asa
Hingga seringkali kudapati Engkau menagis sembunyi-sembunyi karena melarangku ini itu
Aku tahu maksudmu, Ibu
Aku tahu kau melakukannya karena kau menyayangiku
Aku tumbuh menjadi seorang gadis yang kerap kali ingin melakukan banyak hal
Yang kau tidak berkenan tapi kau tetap tersenyum dan mengiyakan
Terimakasih Ibu, kau tahu setiap jengkal perjuanganku adalah demi dirimu
Ibuku terkasih, doamu, restumu, semuanya adalah senjata untuk kehidupanku hingga kini...
Harusnya aku yang minta maaf, bukan Engkau yang mencintaiku dengan sempurna
Maaf karena aku terlalu merepotkan
Maaf karena aku memiliki terlalu banyak keinginan
Maaf karena aku tak bisa memberikan banyak waktu untukmu
Maaf karena aku tak mampu banyak membantu urusanmu
Maaf, aku hanya bisa berbisik kepada bumi di setiap sujud yang ku jaga siang malam, menyebut namamu dengan balutan cinta yang tak sesempurna cintamu padaku, memohonkan kebaikan, keberkahana, cinta kasih, dan surga untukmu. Aku yakin bisikanku melambung tinggi melangit, karena aku menyampaikannya dengan bahasa lisan dan hati, 2 bahasa yang Allaah mengerti dengan pasti.
Ibuku terkasih, Aku mencintaimu karena Allaah, sangat mencintaimu karena Allaah :')
*putrimu
yang tidak bisa diam dan merepotkan, seorang bayi mungil yang kau beri nama Suci
Senin, 02 Februari 2015
Memandangmu, Membiarkan Rasaku Bicara
Untuk sebuah keadaan yang begitu menyulitkan, aku bersyukur.
Aku biarkan hatiku menjadi lebih kuat, lebih tegar, lebih sabar, seperti sebuah
hati yang ada dicerita wanita-wanita luar biasa yang ditakdirkan untuk seorang
raja bijaksana.
Aku
bertanya awalnya, apakah aku pernah menginginkan ini? Maksudku, menginginkan
keadaan yang menempatkanku di sampingmu, lalu aku menjatuhkan hatiku padamu?
Apa aku pernah bilang pada Tuhan untuk semuanya ini?
Kerap
kali dalam setiap doaku, aku selalu ingin menjadi seorang wanita yang mengasihi
seseorang dengan kekayaan hati, kekayaan ilmu, kekayaan amal. Seseorang
sederhana yang bisa menemaniku tertawa di mana saja. Di jalan-jalan yang aku
lewati, di tempat-tempat yang aku kunjungi : di kampus, di depan kelas, di
bangku taman, di warung makan. Seseorang sederhana yang mengirimku sebait kata
yang manis setiap pagi, mencipta mood positif bagiku seseorang yang moody
sepertiku. Seseorang yang sederhana yang memberi tahu semua orang bahwa ia
menyayangiku, dan akupun menyayanginya. Seseorang dengan mata, hidung, senyum,
yang sederhana yang terlalu sempurna untuk dilupa.
*aku
berhenti menulis. Aku memandangmu dari kejauhan. Mencoba menelisik alasan yang
ada pada dirimu, sehingga meninggalkanmu aku tak mampu.
Aku
melihatmu diantara sahabat-sahabatmu. Apakah kau bahagia, Mas? Iya, kau nampak
bahagia. Ketika bersamaku, apa kau sebahagia itu? Mata yang menyipit dan bibir
yang menyungging sempurna ke atas. Kau tersenyum. Aku ikut bahagia.
Aku memandangmu
dari kejauhan. Diam, membiarkan segala sesak ini sedikit demi sedikit
terkurangi. Mencoba ikut tertawa dan bahagia. Aku biarkan hatiku menemukan
kebahagiaannya. Aku biarkan hatiku menajamkan rasanya. Aku biarkan hatiku
berdialog dengan bahasanya yang tanpa dusta. Aku ingin hatiku merasa bahagia.
Tanpa
titik airmata. Aku ingin menyelesaikan tulisan ini tanpa airmata. Tawamu
semakin menjadi, semoga benar-benar bahagia. Bukankah seseorang akan bahagia
jika melihat orang yang disayanginya juga bahagia?
Ah, kau
pergi. Sepertinya memang tidak baik terus membiarkan mataku memandangmu dalam
jarak sejauh ini. Tunggu, kau pergi bersama sahabat-sahabatmu. Apakah aku ikut
bersamamu? Apakah kau sisakan sedikit tempat untukku. Tempat yang kupesan sejak
aku memutuskan untuk bersamamu. Tempat itu, sedikit saja ruang tepat
disampingmu. Apa aku ikut bersamamu?
*aku berhenti seejenak. Menatap tempat itu tanpa dirimu.
Tidak
lebih baik, tak lagi ada yang menarik perhatianku. Aku lanjutkan tulisan ini.
Kau
bukan orang sederhana itu. Kau kompleks dengan segala rupa kegiatan yang
menyita waktumu, waktu kita. Kau mungkin lebih banyak membagi cerita bersama
mereka. Dan saat aku benar-benar ingin berkata banyak hal, kau tidak ada, atau
kau ada sementara waktumu tidak tepat. Apa aku boleh marah, sejenak saja?
Tidak. Andai marah berguna, aku tetap tidak akan melakukannya.
Kau
bukan orang sederhana itu. Begitulah akhirnya hatiku berbicara. Jika kau orang
itu, kau tidak akan membiarkanku dan segenap rasa ini hanya memandangmu dari
jauh. Kau akan datang padaku, menanyakan apa kabarku, dan meminta teh hijau
yang katanya sudah kau tunggu sejak berhari-hari yang lalu.
Kau
bukan orang sederhana itu. Kau bukan orang sederhana itu. Kau bukan orang
sederhana itu.
*lagi, aku berhenti menulis dan aku melihat tempat itu. Sama
saja, tidak semenarik ketika kau di situ.
Harusnya
tidak begitu. Kalau kau bukan orang sederhana itu, harusnya tempat itu tetap
terlihat menarik. Mungkin, kau adalah orang sederhana itu. Sepertinya iya.
Hanya saja, sebuah waktu yang belum kunjung memberitahuku. Iya, kau orang
sederhana itu. Tuhan sepertinya sedang menyiapkanmu untuk itu. Semoga saja.
Iya, kau orang sederhana itu, Mas.
*di balik jendela
*dari yang mengharapkan kau datang dan membimbingku menuju bahagia,
Fauziyah Suci Nurani
Sabtu, 31 Januari 2015
Tentang Bahagia
Apakah bahagia itu, Ibu? Tidak ada jawaban. Sejenak hening, lalu Ibuku berkata : "Melihatmu tersenyum, Nak. Itulah bahagia."
Kalau begitu, belikan aku cokelat yang banyak, yang tidak habis dimakan seminggu, Ibu. "Bukan seperti itu, Nak."
Lantas, seperti apa? Aku akan tersenyum dengan sebegitu banyak.
***
Aku tiba-tiba tertohok dengan kata-kata temanku "Kamu memang tidak ditakdirkan untuk bahagia." Aku kaget. Apa iya? Tidak. Bukan seperti itu. Setiap orang pasti ditakdirkan untuk bahagia. Pasti.
Tapi, apa bahagia itu?
***
Aku menelisik jauh ke masa lalu dan masa depan. Apakah bahagia itu ketika dulu aku dibelikan rok bunga-bunga karena nilaiku bagus? Atau saat mbah kakung mengajakku ke pantai dan mengenalkanku pada ombak? Apakah bahagia itu nanti ketika aku lulus kuliah dengan nilai cumlaude? Ataukah ketika akhirnya aku bersujud di kaki Ibu Bapak memohon doa restu untuk menikah?
***
Andai bahagia itu tidak erat kaitannya dengan hati. Aku tidak akan sebingung ini.
***
Apakah bahagia itu, Ibu? Tidak ada jawaban. Sejenak hening, lalu Ibuku berkata : "Melihatmu tersenyum, Nak. Itulah bahagia."
Kalau begitu, belikan aku cokelat yang banyak, yang tidak habis dimakan seminggu, Ibu. "Bukan seperti itu, Nak."
Lantas, seperti apa? Aku akan tersenyum dengan sebegitu banyak.
***
Bahagia. Ba-ha-gi-a. Empat penggal kata, yang kuanggap dulu begitu sederhana. Cukup bersama keluarga dan sahabat-sahabatku. Sekarang, bersama mereka rasanya berbeda. Masih bahagia. Tapi bukan bahagia biasanya.
Aku merindukan bahagia hampir aku lupa rasanya. Tapi aku tidak benar-benar lupa.
***
Aku pernah bahagia. Saat aku jatuh cinta. Saat aku menatap sepasang mata surga. Saat aku melepaskan mbah buyut putri untuk bersama mbah buyut kakung. Saat aku bertemu seseorang yang menguatkan. Saat aku berkata tidak pada seseorang yang mencoba mengatur hidupku.
***
Tentang bahagia, aku hanya ingin sejenak memejamkan mata, mencoba mengingat kembali perasaan itu, lalu bersyukur dan kembali menciptanya. Bahagia, karena Allaah akan bahagia jika aku menciptanya. Tentang bahagia. :)
*Fs. Nurani
*Bilik bahagia
*Dialogue
Kalau begitu, belikan aku cokelat yang banyak, yang tidak habis dimakan seminggu, Ibu. "Bukan seperti itu, Nak."
Lantas, seperti apa? Aku akan tersenyum dengan sebegitu banyak.
***
Aku tiba-tiba tertohok dengan kata-kata temanku "Kamu memang tidak ditakdirkan untuk bahagia." Aku kaget. Apa iya? Tidak. Bukan seperti itu. Setiap orang pasti ditakdirkan untuk bahagia. Pasti.
Tapi, apa bahagia itu?
***
Aku menelisik jauh ke masa lalu dan masa depan. Apakah bahagia itu ketika dulu aku dibelikan rok bunga-bunga karena nilaiku bagus? Atau saat mbah kakung mengajakku ke pantai dan mengenalkanku pada ombak? Apakah bahagia itu nanti ketika aku lulus kuliah dengan nilai cumlaude? Ataukah ketika akhirnya aku bersujud di kaki Ibu Bapak memohon doa restu untuk menikah?
***
Andai bahagia itu tidak erat kaitannya dengan hati. Aku tidak akan sebingung ini.
***
Apakah bahagia itu, Ibu? Tidak ada jawaban. Sejenak hening, lalu Ibuku berkata : "Melihatmu tersenyum, Nak. Itulah bahagia."
Kalau begitu, belikan aku cokelat yang banyak, yang tidak habis dimakan seminggu, Ibu. "Bukan seperti itu, Nak."
Lantas, seperti apa? Aku akan tersenyum dengan sebegitu banyak.
***
Bahagia. Ba-ha-gi-a. Empat penggal kata, yang kuanggap dulu begitu sederhana. Cukup bersama keluarga dan sahabat-sahabatku. Sekarang, bersama mereka rasanya berbeda. Masih bahagia. Tapi bukan bahagia biasanya.
Aku merindukan bahagia hampir aku lupa rasanya. Tapi aku tidak benar-benar lupa.
***
Aku pernah bahagia. Saat aku jatuh cinta. Saat aku menatap sepasang mata surga. Saat aku melepaskan mbah buyut putri untuk bersama mbah buyut kakung. Saat aku bertemu seseorang yang menguatkan. Saat aku berkata tidak pada seseorang yang mencoba mengatur hidupku.
***
Tentang bahagia, aku hanya ingin sejenak memejamkan mata, mencoba mengingat kembali perasaan itu, lalu bersyukur dan kembali menciptanya. Bahagia, karena Allaah akan bahagia jika aku menciptanya. Tentang bahagia. :)
*Fs. Nurani
*Bilik bahagia
*Dialogue
Jumat, 23 Januari 2015
30 Menit sebelum Ikhlas : Ditulis setelah Kehilangan Baju, Kacamata, dan Rok
“Kau datang dan pergi oh begitu saja, semua ku terima, apa
adanya...”
Sekelumit
lagu itu tiba-tiba saja terdendang tepat saat bertanya bagaimana mengikhlaskan.
Akhir-akhir ini, aku merasa buruk. Sangat pelupa. Barang yang kutaruh beberapa
detik yang lalu, aku lupa begitu saja, padahal aku berusaha mengingatnya.
Anehnya, kenyataan hidup yang menyedihkan, walau aku berusaha kuat untuk
melupakannya, aku tetap saja mengingatnya. *curhat :p hihi
Lagi, kemarin sore, aku mendengar cerita dari adekku di pondok yang baru, adek yang cantik, dan tegarnya luar biasa. Dia punya dua Ibu, bapaknya poligami. Aku tanya gimana perasaannya, dan dia bilang awalnya sakitnya bukan main, tapi dia punya Bunda yang sangat kuat, sangat tegar, sangat ikhlas. "Nak, Ayah itu milik Allaah, Bunda dan kamu juga milik Allaah, jadi Bunda nggak boleh memaksakan kehendak Bunda supaya Ayah jadi milik Bunda seutuhnya. Nggak akan pernah bisa." Dan kata-kata itu merasuk ke relung hati adekku itu. Perlahan-lahan, ia menerima kehadiran Ibu keduanya yang ia panggil Umi.
Dan aku ingin merasakan keikhlasan yang demikian itu. Bukan berarti aku ingin dimadu oleh suamiku nanti, buka itu. Penerimaan dan kesadaran bahwa segala hal ialah milik Allaah dan Ia yang berhak untuk mengatur apa yang menjadi kepunyaanNya. Itu yang ingin aku miliki.
Beberapa waktu belakangan, aku sering kehilangan sesuatu. Barang-barang yang sebenarnya bisa aku beli lagi. Lebih bagus dari sebelumnya. Tapi ketika kehilangan, aku pasti marah-marah, bertanya-tanya, badmood, pokoknya aku melakukan hal-hal yang mencerminkan ketidakterimaan. Walau hanya setengah jam biasanya, tapi kan tetap saja.
Ada banyak kejadian yang dialami oleh orang lain yang lebih buruk daripada itu, sekadar kehilangan baju, kacamata, atau rok, dan mereka saja ikhlas. Bahkan ada yang rela berbagi hati dengan orang lain demi rasa cintanya kepada belahan jiwanya, dan mereka bahagia, karena mereka ikhlas. Tapi aku bagaimana? Menggerutu, berdiam diri, mengingat kenangan benada-benda yang telah hilang itu. Dimana letak keikhlasanku?
30 menit sebelum aku tersenyum menerima, aku terlebih dahulu meratapi kehilangan, mengingat kenangan dari barang-barang yang hilang, menangis bahkan. Lalu baru bilang ke diriku kalau aku bisa beli yang baru, yang lebih bagus, yang lebih nyaman, dan berjanji akan merawatnya dengan lebih baik, tidak pelupa, tidak ceroboh, seperti yang dikatakan Ibu. Begitulah.
Titik keikhlasan itu ketika akhirnya aku rasakan ketika aku merasa tidak apa-apa lagi dengan hilangnya barang-barang itu, merasa baik-baik saja tanpa mereka, bisa move on dari apa yang telah hilang, dan memilih untuk melupakan yang hilang, menggantinya dengan yang baru yang semoga lebih baik. Begitulah. :)
Ikhlas sederhana yang aku maksud adalah, mengikhlaskan tiga barang bersejarah yang hilang akhir-akhir ini : Batik ma'had yang kata temen-temen bagus, kacamata yang dibeli bareng bapak, dan rok abu-abu peninggalan mbak2 mahad setahun yang lalu. Ikhlas ya Suci.. Nanti diganti sama Allaah yang lebih baik, cah ayu :)
Langganan:
Postingan (Atom)