Pondok Pesantren Edi Mancoro, setengah tahun silam..
Hanya
setahun dua kali pemandangan seperti ini terlihat di Pondok kami, yakni pada
saat test pondok yang diadakan per enam bulan sekali. Semua santri berjajar di
depan kelas, berbaur dari berbagai kelas, menunggu ustadz rawuh dengan kitab di
tangan mereka, menghafalkan materi sembari
merapalkan doa doa. “Semoga testnya gampang.”
Ketika
bel pertanda mulai test berbunyi, ruangan sudah penuh dengan santri. Sabar
sekaligus deg-degan menunggu soal dan lembar jawab yang dibagikan Ustadz. Saya, ketika itu sedang
duduk sembari memainkan pena. Membunuh ketegangan. Test pada saat itu adalah
mengarang dengan bahasa Arab. Bagi saya, test bahasa Arab di pondok; baik tata
bahasanya maupun terjemahnnya, sama-sama menakutkan. K r e d I b I l I t a s
saya sebagai mahasiswa bahasa arab kala itu dipertaruhkan. Terlepas dari apapun
yang saya takutkan, ujian adalah sesuatu yang harus dihadapi dan dikerjakan,
sebaik mungkin. Baiklah, dengan sedikit merem melek, saya membuka lembar soal
dan mendapati soal yang apabila diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi:
“Tulislah
hal-hal yang akan kamu lakukan ketika sudah lulus dari pondok.
Dan
sampai sekarang, saya masih berusaha mewujudkannya. Satu persatu. Di tahun ini.
Saya
ingat benar bahwa hal pertama yang ingin saya lakukan adalah mendaftar kuliah
lagi. S2. Sastra. Karena kecintaan saya terhadap kata dan makna, serta
keabadian yang menyertai keduanya. Menjadi penulis bagi saya bukan hanya sebuah
cita-cita, melainkan kebahagiaan. Sebuah kecukupan yang dicari oleh para
manusia. Kalau sudah mendapat bahagia, mau cari apa lagi coba?
Lalu,
saya ingin mengkhatamkan kitab Mabadi’ul Awwaliyyah. Kitab yang selalu membuat
saya bilang “ooooo” panjang ketika saya mengkajinya di pondok. Kitab dengan
berbagai kebaikan dan ketulusan hati, baik dalam ibadah maupun muamalah. Saat
ini, saya masih mempertimbangkan mau ngaji di Ustadz siapa. Di kampung saya ada
dua ustadz dengan kelebihannya masing-masing.
Saya
juga seorang penikmat novel akut. Mbah Kakung yang menanamkan kebiasaan membaca
kepada saya. Sejak kanak-kanak beliau kerap kali membawakan buku cerita
bergambar. Tentang belajar mandi sendiri, makan sendiri, merapikan mainan
sendiri, membantu ibu, dan hal-hal baik lain yang dilakukan oleh Budi dan Ani.
Karenanya, tahun ini saya ingin membangun perpustakaan untuk adik-adik di desa
saya. Kenapa? Supaya mereka tahu bahwa membaca itu nikmat, kecanduan membaca,
dan semoga mereka keranjingan menulis. Dan konsisten untuk menulis, jangan
seperti saya yang nulisnya kadang kadang. Hehe.
Bulan
lalu, saya bingung mau kerja di mana. Fresh graduate seperti saya adalah
harapan besar bagi orangtua yang sudah susah payah menyekolahkan anak-anaknya.
Ada beberapa tawaran yang sampai saat ini belum saya sanggupi. Seseorang
berkata kepada saya “pilihlah pekerjaan yang paling memberikan manfaat bagi
orang lain.” Karenanya, tahun ini saya ingin membuat bimbingan belajar yang
melibatkan adik-adik saya di sebuah organisasi masyarakat. Kata Ibu saya
peluang saya membuka bimbingan belajar di kampung saya ini kecil berhasilnya.
Tapi bagaimanapun, saya akan melakukannya. Saya bilang pada Ibu tentang niat member
manfaat kepada orang lain, dan beliau memberikan restu. Alhamdulillaah.
Yang terakhir,
saya ingin ke luar negeri. Australia atau amerika. Saya ingin melihat langit
yang birunya berbeda dengan di Indonesia. Saya ingin menelusuri jalan-jalannya
dan merekam udara yang saya hirup di sana. Saya ingin merasa bahagia,
kebahagiaan yang berbeda dari yang pernah saya rasakan di Indonesia.
Tahun
ini, karena ada begitu banyak hal baru yang terjadi dalam hidup saya, jadi saya
harap semuanya akan berjalan baik dan saya bisa melewatinya dengan gemilang. Aamiin. J
Lalu
saya mengumpulkan semua keinginan saya itu sebelum waktu selesai. Keluar
terlebih dahulu, duduk di pojok tembok, dan kembali menghafal kitab, test jam
kedua di depan mata. Begitu sampai beberapa hari setelahnya. Sampai hari
penghabisan ujian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar