Tema
hari ini sudah aku tunggu-tunggu sejak hari pertama aku nulis 10 Days Writing
Challenge KampusFiksi ini. Pertemuanku pertama kali dengan si dia.
Sebelumnya, izinkan aku terlebih
dahulu memperkenalkan dia kepadamu. Dia; seseorang yang akan aku ceritakan ini,
adalah seorang pejuang, pemimpin dan pemimpi besar. Seseorang yang sedang dalam
proses berdikari; menekuni hal-hal baik yang membuatnya bahagia. Untuknya
–seseorang yang senantiasa berjuang agar aku bahagia--, aku ikut bahagia atas
segala kebahagiaannya. Termasuk semua keputusannya –yang sama sekali tidak
pernah aku intervensi, karena ada saja yang tanya sama aku tentang dia dan
pilihan-pilihannya, kemudian berprasangka kepadaku. Ampun.—Selama dia bahagia, aku juga.
Dia adalah seseorang dengan
pendirian yang tegas, tapi masih kalah tegas dengan airmataku. :p Yang sering
mendebat apa yang aku katakan, dan tiba-tiba menghubungkannya dengan
keniscayaan. Seseorang yang menghargai masakanku apapun rasanya. Dia pernah makan
sayur asam yang kuahnya terlampau pekat dan rasanya absurd bukan main.
Memaklumi kurangku, meski dengan petuah-petuah bijaksananya, kadang melebihi
petuah seseorang yang pernah melewati ratusan tahun hidupnya. Dia adalah
ketidaksempurnaan yang menyempurnakan dan kekurangan yang sempurna melengkapi.
Duuuuh. *jangan sampai dia baca kalimat iniiii*
Okay, karena aku suka berbagi
rahasia, akan kuberitahu kau lagi, sesuatu yang membuatnya malu jika dia
membacanya. Pertemuan pertama kami.
Aku berharap, ada rintik hujan dan
payung merah, lalu aku berjalan tenang di jalan kecil di taman penuh dengan
bunga anyelir, kemudian ada angin kencang menerbangkan payungku. Payungku terlepas dari genggamanku, terbang
mengikuti perintah angin, dan jatuh di belakang seseorang. Cepat-cepat aku
berlari menghampiri payung itu dan mendapati seorang pemuda berjongkok di
baliknya, tanpa aku bisa melihat wajahnya. Hendak mengambil payungku. Celana
dan bajunya kuyup. Tapi, ketika kulihat senyumnya, aku seperti melihat pelangi.
Mungkin karenanya hatiku tiba-tiba menjadi sehangat matahari. Ia berjalan ke
arahku yang memaku. Aku seperti melihat sayap di kanan-kiri lengannya.
Langkahnya gagah, hendak mengembalikan payung merah kepadaku, sekaligus
memayungiku. Sayangnya ia terpeleset dan semua yang kuceritakan adalah pertemuan
pertama yang aku khayalkan.
Aku berharap pula, ada senja yang
awet, yang menahanku melamun tentang apapun, yang memayungi langkahku
kemanapun. Kemudian, di belokan pulang dari perpustakaan, aku menjatuhkan
buku-buku yang kupegang. Menabrak seseorang. Kami seperti berebutan mengambil
buku yang berjatuhan. Saling acuh, lalu sepasang mata kami bertemu, sepersekian
detik yang berlipat menjadi lama. Pandangan pertama yang awet yang membuat kami
kemudian memutuskan untuk berjalan pulang bersama. Ia membawakan bukuku. Kami baru bertemu tetapi seperti
sudah kenal lama. Ajaib kan. Dan dari obrolan singkat kami di sepanjang jalan,
kami menemukan banyak kesamaan di antara kami; sama-sama suka buku, menulis,
puisi, dan senja tentunya. Di senja yang aku cinta, aku menemukan seseorang
yang kujatuhi hati. Sepertinya akan menjadi senja yang paling indah. Sayangnya,
lagi-lagi itu cuma khayalan seorang pecinta drama korea seprti aku. Hihi.
Daripada terus berkhayal tentang pertemuan
pertama dengan si dia yang romantis tapi nyatanya tidak, siang ini, sengaja
kukirim pesan padanya, sebuah pertanyaan tentang kapan pertama kali kita
bertemu. Dan dia menjawab di tangga. –Kadang aku butuh maklum atas jawabannya
yang walaupun bisa dimengerti tetapi tidak nyambung. Aku bertanya kapan tapi
dia jawab di- --.
Lalu aku mengingatnya. Akan
kuceritakan betapa dia sangat ‘lugu’ ketika aku pertama kali melihatnya. Di
tangga itu, sepertinya 4 tahun yang lalu, di saat yang aku lupa hari dan tanggalnya,
dengan perantara seorang teman yang kami kenal, dan teman itu tidak tahu kalau
kami sudah saling mengenal, kami dikenalkan. Sebelumnya, kami memang sudah
pernah bertemu. Di sosial media. Yang aku lupa kapan ku terima permintaan
pertemanannya. Aku tidak terlalu menghiraukannya. Aku hanya tahu dia kakak
tingkatku di kampus, beda jurusan. Sudah.
Dan –yang saya sesali sekarang—aku
lupa merekam dengan benar wajahnya kala itu. Aku hanya ingat wajahnya yang
datar. Mirip seperti sekarang. Dan, sebuah senyum malu-malu yang aku sudah
jarang temukan. Dia kikuk. Kaku. Dan bicara seperlunya. Atau cenderung diam
tidak bicara? Ah, aku lupa,lagi. Tidak ada perasaan apapun. Hanya sebuah
perkenalan biasa yang kemudian aku lupakan. Beruntungnya , nomor ponselku tertinggal
di ponsel miliknya sehingga dia bisa menghubungiku.
Aku menuruni tangga itu dan tidak
lagi mengingatnya. Entah dengan dia. Sepertinya dia mengingatku. :p Aku akan
memperlihatkan catatan ini dan bertanya kepadanya. Semoga dia mau bercerita
dengan malu-malu. Dan kau akan kuberi tahu nanti.
Aku
sama sekali tidak menyangka pertemuan yang katanya, ia lupakan itu akan menjadi
sebuah kisah sepanjang ini. Melibatkan begitu ragam rasa. Menciptakan begitu
banyak puisi untuknya. Bagaimanapun, aku bersyukur beribu-ribu.
Ah,
kusudahi dulu saja catatan ini. Aku jadi merindukan dia lagi. Terimakasih sudah
membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar