Let us find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart ~

Sabtu, 21 Januari 2017

Tangga yang Kau Bilang Kemarin Siang

Tema hari ini sudah aku tunggu-tunggu sejak hari pertama aku nulis 10 Days Writing Challenge KampusFiksi ini. Pertemuanku pertama kali dengan si dia.
            Sebelumnya, izinkan aku terlebih dahulu memperkenalkan dia kepadamu. Dia; seseorang yang akan aku ceritakan ini, adalah seorang pejuang, pemimpin dan pemimpi besar. Seseorang yang sedang dalam proses berdikari; menekuni hal-hal baik yang membuatnya bahagia. Untuknya –seseorang yang senantiasa berjuang agar aku bahagia--, aku ikut bahagia atas segala kebahagiaannya. Termasuk semua keputusannya –yang sama sekali tidak pernah aku intervensi, karena ada saja yang tanya sama aku tentang dia dan pilihan-pilihannya, kemudian berprasangka kepadaku.  Ampun.—Selama dia bahagia, aku juga.
            Dia adalah seseorang dengan pendirian yang tegas, tapi masih kalah tegas dengan airmataku. :p Yang sering mendebat apa yang aku katakan, dan tiba-tiba menghubungkannya dengan keniscayaan. Seseorang yang menghargai masakanku apapun rasanya. Dia pernah makan sayur asam yang kuahnya terlampau pekat dan rasanya absurd bukan main. Memaklumi kurangku, meski dengan petuah-petuah bijaksananya, kadang melebihi petuah seseorang yang pernah melewati ratusan tahun hidupnya. Dia adalah ketidaksempurnaan yang menyempurnakan dan kekurangan yang sempurna melengkapi. Duuuuh. *jangan sampai dia baca kalimat iniiii*
            Okay, karena aku suka berbagi rahasia, akan kuberitahu kau lagi, sesuatu yang membuatnya malu jika dia membacanya. Pertemuan pertama kami.
            Aku berharap, ada rintik hujan dan payung merah, lalu aku berjalan tenang di jalan kecil di taman penuh dengan bunga anyelir, kemudian ada angin kencang menerbangkan payungku.  Payungku terlepas dari genggamanku, terbang mengikuti perintah angin, dan jatuh di belakang seseorang. Cepat-cepat aku berlari menghampiri payung itu dan mendapati seorang pemuda berjongkok di baliknya, tanpa aku bisa melihat wajahnya. Hendak mengambil payungku. Celana dan bajunya kuyup. Tapi, ketika kulihat senyumnya, aku seperti melihat pelangi. Mungkin karenanya hatiku tiba-tiba menjadi sehangat matahari. Ia berjalan ke arahku yang memaku. Aku seperti melihat sayap di kanan-kiri lengannya. Langkahnya gagah, hendak mengembalikan payung merah kepadaku, sekaligus memayungiku. Sayangnya ia terpeleset dan semua yang kuceritakan adalah pertemuan pertama yang aku khayalkan.
            Aku berharap pula, ada senja yang awet, yang menahanku melamun tentang apapun, yang memayungi langkahku kemanapun. Kemudian, di belokan pulang dari perpustakaan, aku menjatuhkan buku-buku yang kupegang. Menabrak seseorang. Kami seperti berebutan mengambil buku yang berjatuhan. Saling acuh, lalu sepasang mata kami bertemu, sepersekian detik yang berlipat menjadi lama. Pandangan pertama yang awet yang membuat kami kemudian memutuskan untuk berjalan pulang bersama. Ia membawakan  bukuku. Kami baru bertemu tetapi seperti sudah kenal lama. Ajaib kan. Dan dari obrolan singkat kami di sepanjang jalan, kami menemukan banyak kesamaan di antara kami; sama-sama suka buku, menulis, puisi, dan senja tentunya. Di senja yang aku cinta, aku menemukan seseorang yang kujatuhi hati. Sepertinya akan menjadi senja yang paling indah. Sayangnya, lagi-lagi itu cuma khayalan seorang pecinta drama korea seprti aku. Hihi.
            Daripada terus berkhayal tentang pertemuan pertama dengan si dia yang romantis tapi nyatanya tidak, siang ini, sengaja kukirim pesan padanya, sebuah pertanyaan tentang kapan pertama kali kita bertemu. Dan dia menjawab di tangga. –Kadang aku butuh maklum atas jawabannya yang walaupun bisa dimengerti tetapi tidak nyambung. Aku bertanya kapan tapi dia jawab di- --.
            Lalu aku mengingatnya. Akan kuceritakan betapa dia sangat ‘lugu’ ketika aku pertama kali melihatnya. Di tangga itu, sepertinya 4 tahun yang lalu, di saat yang aku lupa hari dan tanggalnya, dengan perantara seorang teman yang kami kenal, dan teman itu tidak tahu kalau kami sudah saling mengenal, kami dikenalkan. Sebelumnya, kami memang sudah pernah bertemu. Di sosial media. Yang aku lupa kapan ku terima permintaan pertemanannya. Aku tidak terlalu menghiraukannya. Aku hanya tahu dia kakak tingkatku di kampus, beda jurusan. Sudah.
            Dan –yang saya sesali sekarang—aku lupa merekam dengan benar wajahnya kala itu. Aku hanya ingat wajahnya yang datar. Mirip seperti sekarang. Dan, sebuah senyum malu-malu yang aku sudah jarang temukan. Dia kikuk. Kaku. Dan bicara seperlunya. Atau cenderung diam tidak bicara? Ah, aku lupa,lagi. Tidak ada perasaan apapun. Hanya sebuah perkenalan biasa yang kemudian aku lupakan. Beruntungnya , nomor ponselku tertinggal di ponsel miliknya sehingga dia bisa menghubungiku.
            Aku menuruni tangga itu dan tidak lagi mengingatnya. Entah dengan dia. Sepertinya dia mengingatku. :p Aku akan memperlihatkan catatan ini dan bertanya kepadanya. Semoga dia mau bercerita dengan malu-malu. Dan kau akan kuberi tahu nanti.
Aku sama sekali tidak menyangka pertemuan yang katanya, ia lupakan itu akan menjadi sebuah kisah sepanjang ini. Melibatkan begitu ragam rasa. Menciptakan begitu banyak puisi untuknya. Bagaimanapun, aku bersyukur beribu-ribu.

Ah, kusudahi dulu saja catatan ini. Aku jadi merindukan dia lagi. Terimakasih sudah membaca. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar