Selalu
ada setidaknya lima menit menyenangkan dalam malamku, lima menit saat ia
memperdengarkan suaranya dari seberang, lima menit saat ia menanyakan kabar
keadaanku, lima menit saat ia bertanya bagaimana kondisi rasa dan hatiku, lima
menit saat ia menjawab apa yang aku tanyakan padanya. Lima menit yang
menyenangkan, yang tidak mungkin luput untuk aku syukuri dalam setiap sujud
subuhku beberapa jam setelahnya.
Embun-embun pagi merangsek ke
ujung-ujung daun, langit menerang, mentari malu-malu muncul. Ibuku yang selalu
berhati malaikat membangunkanku. Aku masih bermukena, aku tak sengaja tertidur
setelah dengan setengah sadar menunaikan sahalat subuh. Aku memang selalu
begitu. Suaranya yang hanya lima menit ku dengar itu selalu menyirnakan rasa kantukku,
dan menghadirkannya kembali di fajar yang dingin. Tapi tiada mengapa, rasanya
masih tetap menyenangkan.
Kembali Ibu menungguku di meja
makan, kebiasaan kami memang, setelah Ayah meninggal dua tahun silam, Ibu tidak
pernah membiarkanku makan sendirian. Ia tersenyum padaku, senyum malaikat.
Seperti biasa, aku mencium Ibuku terlebih dahulu, Ibu tampak cantik dengan
jilbab coklat yang dibelikan almarhum ayah dulu. Kami makan, sebagaimana
lazimnya. Masakan Ibu tetap enak, mungkin ini salah satu hal yang membuat ayah
jatuh cinta dulunya. Minggu pagi yang selalu membahagiakan, bersama Ibuku.
Di sofa ruang tengah, aku melihat
Ibu mebuka-buka album kenangan kami dulu. Ketika keluarga kami masih lengkap.
Ibu, Ayah, dan aku. Aku anak tunggal, tidak punya saudara kandung. Ibu juga
anak tunggal. Ayah tiga bersaudara, paman-pamanku merantau ke negeri seberang,
sementara kami menetap di negeri kami sendiri, negeri yang katanya makmur
sentosa ini. Ibu menoleh dan tersenyum padaku, pandangan Ibu sayu, sedikit
basah di ujung-ujungnya. Aku duduk disamping Ibu, meminta Ibu mengelusku manja.
“Ibu, sebesar apa kerinduan Ibu
terhadap Ayah?”
Ibu tersenyum, senyum malaikat. “Ibu
tidak tahu, mungkin tidak terlalu besar.”
Aku tersentak. Alisku menyambung. Mengapa
begitu?
“Kerinduan Ibu selalu luruh ketika Ibu membuka kembali
kenangan-kenangan itu. Bagi Ibu, selama Ibu masih memiliki kenangan itu,
kenangan yang baik ataupun kenangan yang buruk, Ibu akan bisa kuat meredam
rindu Ibu pada Ayahmu. Nak, kenangan itu, selain hal yang ampuh untuk
menyatukan hati yang sudah retak, juga ampuh sebagai peredam rindu yang
terkadang menggebu tak tertahankan.”
“Walau dengan airmata?”, aku
bertanya lagi.
Ibu memeluk erat diriku. Hangat
sekali. “Nak, di kehidupan yang luas ini, tidak semua yang terlihat bisa
ditafsirkan sebagaimana lazimnya. Ketika airmata identik dengan kesedihan,
kehilangan, atau perpisahan, tidak serta merta kau boleh menafsirkan secara
mutlak bahwa airmata adalah pertanda hal-hal yang menyedihkan tersebut. Airmata
Ibu tadi adalah airmata bahagia. Wujud kesyukuran Ibu yang teramat tulus. Ibu
menangis karena Ibu rasa Tuhan begitu baik dengan Ibu, mengizinkan Ibu
menyimpan kenangan-kenangan itu dengan rapi dan utuh. Membahagiakan sekali
bukan?”
Aku beranjak dari pelukan Ibu.
Kutatap wajahnya yang elok menenangkan. Garis-garis wajahnya sudah terlihat.
Ibuku sudah semakin tua, sebagaimana juga aku yang sudah semakin dewasa. Melihat
Ibu yang seperti ini, airmataku mendesak, ingin keluar. Korneaku basah,
beberapa menit kemudian, basah juga pipiku. Aku gantian yang memeluk erat Ibu. Semoga
waktu akan menjembataniku untuk menjadi seseorang yang seperti Ibu. Berhati
malaikat, memiliki senyum malaikat. Mulia sekali.
###
Malam, kerajaan langit memamerkan
pasukan bintang gemintangnya. Semuanya tumpah ruah mengitari permaisuri bulan
yang kala itu hanya menampakkan dirinya serupa senyum. Melengkung setengah
lingkaran. Dalam sujud malamku, aku bertanya pada Tuhan. Apakah Ibu dan Ayah
saling merindukan, Tuhan? Berpisah dengan jarak yang lebih dari ribuan
kilometer cahaya, bahkan jarak yang tiada terbatas, benarkah Ibu tidak terlalu
merindukan Ayah? Ataukah karena terlalu merindukan Ayah, Ibu hingga tak mampu
mendeskripsikan kerinduannya itu? Benarkah airmata Ibu adalah airmata syukur,
airmata bahagia? Entahlah, aku belum mendapatkan jawaban atas
perkara-perkara itu. Tapi aku percaya pada Ibu. Aku yakin ia bahagia, sebesar
apapun desakan kerinduan yang mengganggu hatinya. Ibu masih memilikiku. Aku
yang siap menjadi pelipur laranya, pengusir rasa sepinya.
Pukul 00.01, selamat datang hari
Senin. Selamat datang lima menit yang menyenangkan. Telfon genggamku berbunyi. Pasti
dia. Benar saja, namanya terlihat di layar telfon. Seperti biasa, lima menit
masih sangat menyenangkan. Lima menit saat ia memperdengarkan suaranya dari
seberang, lima menit saat ia menanyakan kabar keadaanku, lima menit saat ia
bertanya bagaimana kondisi rasa dan hatiku, lima menit saat ia menjawab apa
yang aku tanyakan padanya. Lima menit yang menyenangkan, yang tidak mungkin
luput untuk aku syukuri dalam setiap sujud subuhku beberapa jam setelahnya.
Di akhir pembicaraan kami, aku
berkata padanya “Aku bersyukur, aku bersyukur ada lima menit yang menyenangkan
dari 24 jam hariku. Inilah kenangan kita, yang akan merekatkan rangkaian kisah
kita. Kata Ibu, kenangan, selain hal yang ampuh untuk menyatukan hati yang
sudah retak, juga ampuh sebagai peredam rindu yang terkadang menggebu tak
tertahankan. Indah bukan?” Dia mengiyakan dari seberang sana, pertanda setuju.
Pemahaman baruku. Pemahaman barunya juga. Kenanganku, lima menit menyenagkan
kami, lima menit menyenangkan yang akan terus kami jaga sampai masa yang kami
tidak bisa kami prediksi, yang akan kami kenang sebagai masa indah yang telah
terlewati suatu saat nanti.