Let us find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart ~

Minggu, 13 April 2014

Lima Menit



Selalu ada setidaknya lima menit menyenangkan dalam malamku, lima menit saat ia memperdengarkan suaranya dari seberang, lima menit saat ia menanyakan kabar keadaanku, lima menit saat ia bertanya bagaimana kondisi rasa dan hatiku, lima menit saat ia menjawab apa yang aku tanyakan padanya. Lima menit yang menyenangkan, yang tidak mungkin luput untuk aku syukuri dalam setiap sujud subuhku beberapa jam setelahnya.
            Embun-embun pagi merangsek ke ujung-ujung daun, langit menerang, mentari malu-malu muncul. Ibuku yang selalu berhati malaikat membangunkanku. Aku masih bermukena, aku tak sengaja tertidur setelah dengan setengah sadar menunaikan sahalat subuh. Aku memang selalu begitu. Suaranya yang hanya lima menit ku dengar itu selalu menyirnakan rasa kantukku, dan menghadirkannya kembali di fajar yang dingin. Tapi tiada mengapa, rasanya masih tetap menyenangkan.
            Kembali Ibu menungguku di meja makan, kebiasaan kami memang, setelah Ayah meninggal dua tahun silam, Ibu tidak pernah membiarkanku makan sendirian. Ia tersenyum padaku, senyum malaikat. Seperti biasa, aku mencium Ibuku terlebih dahulu, Ibu tampak cantik dengan jilbab coklat yang dibelikan almarhum ayah dulu. Kami makan, sebagaimana lazimnya. Masakan Ibu tetap enak, mungkin ini salah satu hal yang membuat ayah jatuh cinta dulunya. Minggu pagi yang selalu membahagiakan, bersama Ibuku.
            Di sofa ruang tengah, aku melihat Ibu mebuka-buka album kenangan kami dulu. Ketika keluarga kami masih lengkap. Ibu, Ayah, dan aku. Aku anak tunggal, tidak punya saudara kandung. Ibu juga anak tunggal. Ayah tiga bersaudara, paman-pamanku merantau ke negeri seberang, sementara kami menetap di negeri kami sendiri, negeri yang katanya makmur sentosa ini. Ibu menoleh dan tersenyum padaku, pandangan Ibu sayu, sedikit basah di ujung-ujungnya. Aku duduk disamping Ibu, meminta Ibu mengelusku manja.
            “Ibu, sebesar apa kerinduan Ibu terhadap Ayah?”
            Ibu tersenyum, senyum malaikat. “Ibu tidak tahu, mungkin tidak terlalu besar.”
            Aku tersentak. Alisku menyambung. Mengapa begitu?
            “Kerinduan Ibu selalu luruh ketika Ibu membuka kembali kenangan-kenangan itu. Bagi Ibu, selama Ibu masih memiliki kenangan itu, kenangan yang baik ataupun kenangan yang buruk, Ibu akan bisa kuat meredam rindu Ibu pada Ayahmu. Nak, kenangan itu, selain hal yang ampuh untuk menyatukan hati yang sudah retak, juga ampuh sebagai peredam rindu yang terkadang menggebu tak tertahankan.”
            “Walau dengan airmata?”, aku bertanya lagi.
            Ibu memeluk erat diriku. Hangat sekali. “Nak, di kehidupan yang luas ini, tidak semua yang terlihat bisa ditafsirkan sebagaimana lazimnya. Ketika airmata identik dengan kesedihan, kehilangan, atau perpisahan, tidak serta merta kau boleh menafsirkan secara mutlak bahwa airmata adalah pertanda hal-hal yang menyedihkan tersebut. Airmata Ibu tadi adalah airmata bahagia. Wujud kesyukuran Ibu yang teramat tulus. Ibu menangis karena Ibu rasa Tuhan begitu baik dengan Ibu, mengizinkan Ibu menyimpan kenangan-kenangan itu dengan rapi dan utuh. Membahagiakan sekali bukan?”
            Aku beranjak dari pelukan Ibu. Kutatap wajahnya yang elok menenangkan. Garis-garis wajahnya sudah terlihat. Ibuku sudah semakin tua, sebagaimana juga aku yang sudah semakin dewasa. Melihat Ibu yang seperti ini, airmataku mendesak, ingin keluar. Korneaku basah, beberapa menit kemudian, basah juga pipiku. Aku gantian yang memeluk erat Ibu. Semoga waktu akan menjembataniku untuk menjadi seseorang yang seperti Ibu. Berhati malaikat, memiliki senyum malaikat. Mulia sekali.
                                                                        ###
            Malam, kerajaan langit memamerkan pasukan bintang gemintangnya. Semuanya tumpah ruah mengitari permaisuri bulan yang kala itu hanya menampakkan dirinya serupa senyum. Melengkung setengah lingkaran. Dalam sujud malamku, aku bertanya pada Tuhan. Apakah Ibu dan Ayah saling merindukan, Tuhan? Berpisah dengan jarak yang lebih dari ribuan kilometer cahaya, bahkan jarak yang tiada terbatas, benarkah Ibu tidak terlalu merindukan Ayah? Ataukah karena terlalu merindukan Ayah, Ibu hingga tak mampu mendeskripsikan kerinduannya itu? Benarkah airmata Ibu adalah airmata syukur, airmata bahagia? Entahlah, aku belum mendapatkan jawaban atas perkara-perkara itu. Tapi aku percaya pada Ibu. Aku yakin ia bahagia, sebesar apapun desakan kerinduan yang mengganggu hatinya. Ibu masih memilikiku. Aku yang siap menjadi pelipur laranya, pengusir rasa sepinya.
            Pukul 00.01, selamat datang hari Senin. Selamat datang lima menit yang menyenangkan. Telfon genggamku berbunyi. Pasti dia. Benar saja, namanya terlihat di layar telfon. Seperti biasa, lima menit masih sangat menyenangkan. Lima menit saat ia memperdengarkan suaranya dari seberang, lima menit saat ia menanyakan kabar keadaanku, lima menit saat ia bertanya bagaimana kondisi rasa dan hatiku, lima menit saat ia menjawab apa yang aku tanyakan padanya. Lima menit yang menyenangkan, yang tidak mungkin luput untuk aku syukuri dalam setiap sujud subuhku beberapa jam setelahnya.
            Di akhir pembicaraan kami, aku berkata padanya “Aku bersyukur, aku bersyukur ada lima menit yang menyenangkan dari 24 jam hariku. Inilah kenangan kita, yang akan merekatkan rangkaian kisah kita. Kata Ibu, kenangan, selain hal yang ampuh untuk menyatukan hati yang sudah retak, juga ampuh sebagai peredam rindu yang terkadang menggebu tak tertahankan. Indah bukan?” Dia mengiyakan dari seberang sana, pertanda setuju. Pemahaman baruku. Pemahaman barunya juga. Kenanganku, lima menit menyenagkan kami, lima menit menyenangkan yang akan terus kami jaga sampai masa yang kami tidak bisa kami prediksi, yang akan kami kenang sebagai masa indah yang telah terlewati suatu saat nanti.

Gelas Penuh



Sahabat tersayang, izinkan aku mengutarakan beberapa hal yang pernah kau tanyakan kepadaku, untuk kemudian menjadi pelajaran semua yang membaca ini. Tidak akan ada yang tahu siapa kau, tentu saja kecuali Tuhan, aku, dan dirimu sendiri.
            Kisah ini dimulai…
            Malam itu langit murung, mungkin semurung hati sahabatku. Siang tadi, wajahnya tak secerah biasanya. Ia juga sedkit bicara, dan sejujurnya dalam diamnya, ia terlihat lebih keren dari biasanya. *hehe, tapi bukan masalah itu yang ingin aku bagi disini*
            Aku sedang berduaan dengan laptopku ketika malam itu. Hapeku bergetar. Aku acuhkan saja. Urusanku dengan laptop belum selesai. Aku melanjutkan ceritaku, merampungkannya, dan celingukan mencari hape. *aku pelupa, kalau sedang di asrama dengan teman-teman, biasanya aku meminta tolong mereka untuk missed call hapeku, hehe*
            Kubuka hapeku, 1 message received. Read. Ternyata dari sahabatku tadi. Empat huruf, membentuk kata yang biasanya ia gunakan untuk memanggilku *Ucik* dan emoticon :’( *cry*. Kubalas “Kenapa?” Dan ia bercerita panjang lebar, tentang kemendungan hatinya.
            Akan kuceritakan secara singkat…
            Sahabatku tadi, menyukai seseorang yang sudah memiliki komitmen dengan orang lain. Ia tahu benar tentang komitmen itu. Sahabatku dan orang yang ia sukai sudah berteman lama, bahkan menjadi rekan kerja dalam satu divisi di suatu organisasi. Menurutku, ini bisa dibilang cinlok *cinta lokasi* kayak yang ada di filem-filem atau di novel remaja yang kisaran halamannya cuma sampe 200-an.
            Aku belum bisa memberi solusi apa-apa saat itu. Aku lantas meminta penjelasan dari pihak yang lain *pihak yang disukai*. Ia membenarkan. Ia malah sempat berniat untuk keluar dari organisasi dan menghindar, demi komitmennya yang sudah lama, dan demi perasaan sahabatku tadi. “Profesional.” Satu kata itu aku sampaikan padanya, dan itu cukup manjur untuk tetap menahannya.
            Kembali ke sahabatku, ia bertanya apakah ia salah, ataukah ia benar, jika ia tiba-tiba mempunyai perasaan lebih kepada orang yang sudah berkomitmen dengan orang lain.
            Aku hanya memberikan perumpamaan. *Menuang air di gelas itu benar. Tapi, menuang air di gelas yang sudah penuh itu kurang tepat*.
            Perasaan itu fitrah, dan tidak bisa disalahkan. Hanya penempatannya yang seringkali kurang tepat, jadinya menyayat, dan seolah-olah terlihat salah. Ia, dengan kedewasaannya tentu faham dengan kalimat-kalimatku.
            Esoknya, ketika aku bertemu, mereka dengan sempurna menyembunyikan ‘kisah’ mereka. Akupun bersikap senormal mungkin, hanya kadang aku suka iseng, melontarkan godaan dan membuat tawa kami terdengar renyah.
Semuanya normal, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Alhamdulillaah.
***
            Begitulah, kini mereka berdua baik-baik saja. Menjadi semakin dewasa dengan pemahaman yang lebih dan perasaan yang relative stabil itu menyenangkan. Semoga semuanya lebih baik lagi mendatang, dan semoga tidak ada lagi kecanggungan, keluh kesah, dan airmata lagi diantara para sahabatku. Terimakasih sahabat tersayang, atas izin untuk membagi kisah  ini, semoga kau suka.