Let us find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart ~

Minggu, 19 April 2015

Sempatkanlah 5 Menit Saja, Saya Rindu

Salatiga, 19 April 2015
Selamat Pagi Mas, apa kabar?
Saya menulis ini ketika mendung menyerang. Malas yang berbanding lurus dengan mendung juga menyerang. Tapi, tidak saya biarkan selimut membebat. Saya tidak ingin kalah dengan keadaan, seperti kemarin, dan semalam. Ini rahasia, tapi tidak apa-apa jika Njenengan yang tahu. Saya sudah tidur 10 jam kemarin, dan bukannya menjadi segar, badan justeru pegal-pegal. Saya kapok.

Mas..
Njenengan sekarang sedang sibuk ya. Bantu-bantu apa? Masang tratak? Bisa? Atau nata kursi? Rapi mboten? Hihi
Mas..
Karena rindu yang menguatkan begitu menguar di relung hati ini *aih*, keping-keping kenangan membayang dan terangkai apik dalam sebuah bingkai invisible yang hanya bisa dirasa dan dilihat oleh saya. Bacalah sampai akhir, dan hitung berapa kali Njenengan tertawa kecil, atau menahan tawa selama Njenengan membaca surat ini.

Saya mulai dari....

Ketika itu, di auditorium kampus, saya sedang menemani seorang teman menunaikan kewajibannya. Shalat dzuhur di mushalla mungil di pojok belakang aula. Dekat dengan tempat saya berdiri, ada sebuah hp yang sedang di charge dan berisik sekali. Saya tanya sama teman saya, ini hapenya siapa ya dari tadi bunyi terus tapi tidak ada yang ngurusin. Dan beberapa saat setelah saya menyelesaikan kalimat saya itu, Njenengan datang, mengambilnya, seperti membalas beberapa sms, dengan charger yang dibiatkan tetap ‘menginfus’ hape, kemudian menempatkannya kembali.

Saya melihat Njenengan, dan mungkin Njenengan tidak melihat saya. Dan kembali saya berkata kepada teman saya, mbak itu masnya bajunya garis-garis kayak zebra. Dan begitu saja, semuanya berlalu, terlupakan, menguap begitu saja. Tanpa ada rasa apa-apa.

Beberapa waktu kemudian teman saya heboh membuat kuping saya panas. “kamu di mention di facebook sama dia”. Dan saya tidak peduli.
Lagi, kata-kata itu sambung menyambung dan memaksa saya untuk melihatnya. Yah, dia itu adalah Njenengan, yang saya yakin iseng menyebut nama saya, dan saya tidak menyukainya. Bahkan ketika saya melihat foto yang anda pajang sebagai profile picture, saya tidak mengenali Njenengan. Hehe
Sekarang, saya berkesimpulan, kalau ternyata daya tarik Njenengan adalah baju zebra yang Njenengan pakai saat pertama saya melihat Njenengan, bukan yang lain.

Mas..
Di pojok ruang PKM, seorang kakak mengenalkan kita berdua, mengira kita belum saling kenal, dan kita bertukar nomor hp. Akhirnya, mulai saat itu hingga kini, saya dapat merekam wajahmu dengan akurat.

Mas..
Ingatkah ketika Njenengan men-stalking facebook saya? Memenuhi notification. Dan kabar kalau Njenengan suka sama saya dikabarkan oleh banyak orang. Mengganggu mas. Padahal saya tidak tahu siapa Njenengan saat itu. Mbak-mbak dan teman-teman saya bertanya ini itu kepada saya. Argh...
Dan sms Njenengan mas, ish. Informasi panjang-panjang mengenai kegiatan UKM yang saya tidak terlibat di dalamnya, dan yang tidak pernah jawab. Itu juga mengganggu. Tapi sekarang mengingatnya kembali rasanya menjadi lucu.
Saya tertawa kecil, menyadari kini kalimatmu menjadi hal penting yang saya nanti.

Mas..
Ingat waktu di depan aula lebih dari setahun silam? Saat Njenengan mengajak saya bertemu untuk membicarakan teman Njenengan yang ingin observasi di aliyah saya? Yang ketika saya bilang lewat sms saja, tapi Njenengan tetap mengajak saya bertemu? Haha. Percakapan pertama. Dan entah dari mana, meski saya mencoba memungkiri, tapi saya benar-benar merasa nyaman duduk dengan Njenengan. Padahal, kita bingung bagaimana mengalirkan percakapan, kemudian lebih banyak diam.

Dan setelahnya, walau tidak sering, dan dengan alasan yang entah, kita bertemu lagi, duduk berdua lagi. Berbicara lagi, mengenai apapun yang sifatnya entah. Tidak jelas sama sekali.

Mas..

Lalu, saya tertahan di sampingmu. Bahkan saat senja menyuruh saya  pulang, jauh di lubuk hati saya, saya tidak ingin bergeming. Bersama Njenengan terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Dan saya mulai menguntai harapan. Semoga hujan turun saat kita bersitatap, sehingga walaupun senja sudah menampakkan ronanya, saya punya alasan untuk bertahan. Tertahan oleh hujan. Hehe

Mas..
Hari ini, sempatkanlan 5 menitmu untuk membaca surat saya sampai akhir. Semoga Njenengan bahagia. Masih banyak potongan kejadian yang saya ingat, tapi biarlah menjadi rahasia kita yang menyenangkan. Atau saya harap, Njenengan yang akan menuliskannya untuk saya. ^^
Bersyukur atas kasih yang dititipkanNya untuk Njenengan kepada saya. Alhamdulillaah ‘alaa kulli hal wa kulli surur.

Fs. Nurani
Di depan jendela besar pondok tercinta



Minggu, 05 April 2015

Ternyata Belum *Tidak* Datang

Mengapa kau mengizinkanku menangis saat sekelilingku begitu ramai?
Mengapa kau mengizinkanku kedinginan saat sekelilingku begitu hangat?
Mengapa kau mengizinkanku kehausan saat mata air melimpah?

Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih sabar
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih mengalah
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih tabah

Pengertian demi pengertian yang diusahakan ternyata belum cukup
Kecamuk ketidakpahaman justru lebih kuat, kemudian mengamuk
Bagaimana keadaanmu, perasaan?

Mendung sedari tadi, kuharap hujan
Dan kita tertahan di bawahnya

Harapanku bahkan masih sama,
Meski aku tahu ternyata aku lagi yang harus menunggu

Apakah kau akan datang?
Sepertinya tidak

Harusnya aku pergi,
kemudian hatiku tertahan
Aku terlalu sayang pada kerinduan
Atau kerinduan yang begitu menyayangiku?
Ia masih saja menderu
Meski "aku tidak datang" darimu meluluhlantakkan
Ia tetap setia menanti kau datang

Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih sabar
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih mengalah
Sepertinya, hati harus ribuan kali lebih tabah

Mengapa kau mengizinkanku menangis saat sekelilingku begitu ramai?
Mengapa kau mengizinkanku kedinginan saat sekelilingku begitu hangat?
Mengapa kau mengizinkanku kehausan saat mata air melimpah?

*kau akan datang kan?


Rabu, 01 April 2015

Jangan Panggil Aku Begitu Lagi

Pada sebuah bangku kayu
Kisah pecah
Berantah
Tapi aku tak kehilangan satupun kepingan pun

Tanya saja padaku
Apa yang kita lalui saat remaja dulu
Hujan-hujan saat senja, berlari dari teras ke teras
Bermain bola basket di bawah keranjang

Aku yakin kau tidak ingat
Sobekan kertas yang kukumpulkan hanya karena kau yang menyobeknya
Persis seperti kisah kita
Walau berkeping, segmennya tidak ada yang terlewatkan

Aku masih bisa merangkainya, utuh penuh

Hai, kau
Kau katakan akan menemuiku kan?
Atau kau lupa
Ah, kau selalu melupakan hal-hal penting
Jangan-jangan, kau juga lupa aku?
Silahkan saja
Toh, aku tidak akan melupakanmu

Hei..
Jika kau masih saja sering lupa
Kusarankan untuk menyusuri kisah kita
Yang mati suri ketika kita berusaha meraih mimpi
Dan yang terakhir terjadi
Bukankah kau sudah memutuskan dan kemudian aku menyepakati?
Jadi, kuingatkan kau,
Jangan panggil aku begitu lagi

Pahami ini,
Bukankah kau sudah memutuskan dan kemudian aku menyepakati?
Jadi, kuingatkan kau,
Jangan panggil aku begitu lagi