Let us find the way, close our eyes, listen closely, and attend with our heart ~

Sabtu, 30 Agustus 2014

Kehadiran yang Membuatku Bersyukur

Jika tidak ada malam tanggal 18 Agustus, mungkin aku tidak akan sepeduli ini kepada diriku sendiri. Jatuh hati lagi, kepada seseorang yang sepertinya teah aku sebut dalam doa lama sebelum aku mengenalnya. Seseorang dengan kekayaan hati, ilmu, dan amal. 

Aku tidak benar-benar tahu sebenarnya, apa yang membuatku benar-benar merasa mendapatkan anugerah yang tiada tara saat bersamanya. Disampingnya, atau melihatnya dengan buku-buku tebal yang ia baca, atau mendengarkan ia bercerita tentang apa saja, aku bahagia. Nyaman, tenang, damai. Seperti menemukan pelita dalam gelap, atau mungkin lebih dari itu, perasaan yang tidak aku dapatkan selain darinya. 

Ia, seseorang yang dengan kemampuannya menjadikan perasaan yang menurutku abstrak perlahan menjadi terdefinisi. Definisi yang menguatkan, bukan begian dari kalkulasi yang berdasar logika. Semua yang ia kemukakan ialah dari hati. Aku merasakannya, merasakan sekeping hati ini tersentuh olehnya.

Atas semua yang ia lakukan untukku, aku bersyukur. Atas semua yang ia lakukan padaku, aku bersyukur. Atas kehadirannya yang begitu menyempurnakan, aku bersyukur.

Izinkan aku menjaganya melebihi ia menjagaku. Izinkan aku menghormatinya dengan penghormatan yang utuh. Izinkan aku mendampinginya dengan pendampingan yang penuh. Begitulah aku ingin mencintainya. Suatu saat nanti.

Aku suka berdoa, karena doa selalu dikabulkan pada saat yang paling tepat dan paling indah. Allaah Maha Tahu... :) 

Ini bagian dari doa, yang nantinya akan dikabulkan. Allaah... :)

Rabu, 06 Agustus 2014

Kisah Lembaran Usang

Aku menemukan kotak kayu coklat di rumah itu. Rumah yang aku tinggali semasa kecilku. Aku membukanya, dan aku menemukan lembaran lusuh yang termakan usia. Kubuka satu per satu lembaran itu, Agustus 2012, itu sudah 25 tahun yang lalu, jauh sebelum aku terlahir di dunia ini. Wisnu? Siapakah Wisnu? Dan kenapa ada nama Laras?
***
Agustus 2012
#Wisnu
Aku tak bisa memberikan kejelasan pada Laras. Aku tidak bisa memutuskan takdirku sendiri. Selalu ada yang Maha Menakdirkan dalam setiap keputusanku. Biarkan orang lain menanggapku salah satu dari fatalis yang masih hidup di zaman semodern ini. Aku hanya bisa memberinya harapan – semacam mengalirinya air kehidupan, entah sampai kapan.
***
            Hari ini, Laras kembali meminta penjelasan atas sebatas harapan yang aku berikan padanya. Atas kalimat-kalimat retoris yang justru membuatnya selalu sesak. Aku sedang sendiri saat itu. Di kamarku d asrama kampus yang jaraknya sudah ratusan kilo dari tempat Laras berada sekarang. SMS masuk. Di layar ponselku, nama Laras tertera. Aku bahagia, meski tak dapat ku ukur seberapa bahagianya aku saat itu.
            “Mas, sibukkah?” pertanyaan yang sudah kuhafal, ini caranya untuk meminta sedikit waktuku.
            “Nggak, kenapa?”
            “Something important. I miss you so crazy..” Aku tidak membalas, kalimat laras yang tidak diakhiri tanda titik pertanda ia belum menyelesaikan kalimatnya. Aku menanti akhir dari kalimat yang menggantung itu.
            “Tapi Mas, akhir-akhir ini aku mikir, apa ya Mas Wisnu punya perasaan yang sama? Apa Mas Wisnu serindu aku rindu sama Mas? Aku butuh status Mas, butuh penegasan atas hubungan kita. Butuh kata-kata kongkrit tentang rasa rindu Mas sama aku. Selama ini, aku sesak sekali harus diam begitu lama. Anggap ini sebagai gugatan. Ya, aku menggugat rasamu Mas.”
            Aku tertohok. Laras yang selama ini diam dan selalu bilang dia baik-baik saja, yang selalu bilang akan menungguku sampai akhir, yang tidak akan akan mempersoalkan ketiadaanku di sisinya, ternyata dia sakit, ternyata sabarnya berbatas, ternyata ia membutuhkan seseorang, yang bisa disisinya, bukan aku yang begitu jauh disini. Aku membaca sms itu, bisa membayangkan ekspresinya. Ia menangis saat ini. Sendiri, mungkin di sudut kamar biru langitnya, mungkin juga di bangku sudut taman, tempat kami mencipta beribu kenangan semasa muda. Ah, pundakku terasa gatal. Aku ingin menopang segala sedih yang aku sebabkan di relung hatinya. Aku juga rapuh, ingin sekali mengenyahkan fatalisme yang celakanya sudah mendarah daging ini. Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Hanya mampu kembali mencekiknya dengan kalimat menggantungku, menyerahkan segala keputusan padanya.
            “Jika memang yang terbaik bagimu adalah tidak lagi menungguku, aku akan membebaskanmu, silahkan melakukan apapun yang kau mau disana, bersama siapapun yang kau suka. Tapi, jika menunggu adalah hal yang baik bagimu, maka tunggulah, meski aku tidak tahu kapan tepatnya aku akan datang.” Jawabku.
***
Agustus  2012
#Laras
Seberapa bahagia ia disana, Tuhan? Selalu aku ingin menjadi orang yang pertama mendengar ceritanya hari demi hari. Aku ingin memberikan senyum pertamaku padanya setiap pagi. Aku ingin ia mengerti  bahwa aku mencintainya penuh, bulat. Tapi, aku tidak punya kesempatan lagi setelah perpisahan dua tahun yang lalu. Kami memutuskan melangkah di jalan yang berbeda, memutuskan dengan hati yang tetap sama.
***
            SMS terakhirku sudah terkirim, dan balasannya membuat perasaanku antah berantah. Aku memaku di kamarku, dan tembok bisu yang menjadi tempat curhatku. Entah, kebebasan ini apakah membuatku bahagia, atau membuatku terluka. Yang jelas, airmataku mengalir tambah deras, airmata yang aku tidak tau ekspresi apa. Nafasku semakin sesak, semakin tercekat.
            Lama aku melamun, mendefinisikan kata-kata yang aku telan dengan hatiku. Airmataku sudah menyatu dengan udara. Aku gagal membentengi hatiku dengan sugesti kekuatan yang aku buat sendiri. Aku berjanji, ini adalah airmata kekuatan, bukan airmata lemah dan rapuh. Aku hanya butuh cara untuk menguatkan sekeping hati ini, dan semuanya akan baik-baik saja, bukan semuanya akan lebih baik dari sebelumnya.
            Aku jadikan tanganku menjadi sapu tangan. Airmataku  kering, aku bangkit, dan aku memutuskan untuk menjadi  Laras yang baru, yang bebas lepas. Yang terbang tinggi, yang lebih bahagia. Wisnu sudah menyadarkanku, ditinggalkan bukan berarti aku harus terus berkutat pada kehampaan, kehilangan, dan rasa sedih yang bergumpal-gumpal. Jika aku merelakannya dengan kerelaan yang utuh, Tuhan akan menggantikannya dengan orang-orang lain yang lebih baik, lebih tulus, dan lebih membahagiakan, serta lebih melengkapi. Orang-orang yang akan meneribtkan senyum secerah mentari jam tujuh pagi. Semoga aku segera bertemu dengan orang-orang yang dijanjikan Tuhan itu. Semoga seperti itu.
***
Agustus 2014
#Wisnu
            Laras bahagia. Kuharap begitu. Waktu begitu cepat berlalu. Jalanku pada rel kehidupan ini juga cepat sekali. Kemarin, sepertinya aku baru saja mulai mencintainya. Kemarin, sepertinya aku baru saja melenakannya dengan janji-janji yang entah kapan akan kutepati. Tapi, kini, hanya dengan satu dua helaan nafas, aku telah membiarkannya pergi. Membiarkan ia terbang dan menemukan persinggahan hati yang baru, yang bukan aku. Mengapa aku merasa sesak? Bukankah harusnya aku bahagia? Dengan begini tidak akan ada lagi wanita yang menanyakan seberapa serius aku dengannya. Tidak ada lagi wanita yang menggugat perasaanku terhadapnya. Tidak akan ada lagi.
            Laras bahagia. Aku meyakinkan hatiku lagi. Kini, aku tidak harus memikirkan perasaannya lagi. Aku bisa lebih focus berbisnis dan mengejar ambisiku.
***
Agustus 2014
#Laras
            Tidak mudah menghapus bayangan Wisnu. Butuh waktu dua tahun sebelum akhirnya aku memutuskan pinangan Adit. Aku akan bahagia, Wisnu. Terimakasih untuk tidak pernah lagi datang selama 2 tahun ini. Aku benar-benar bahagia. Aku menemukan apa yang selama ini aku cari. Sesuatu yang tak pernah aku temukan darimu walau aku teguhkan hatiku untuk menantinya. Kepastian. Sesuatu yang aku butuhkan untuk hidup.
            Kepastian. Dari seseorang yang aku mencintai aku, dan seseorang yang bersedia aku cintai. Adit. Seseorang itu adalah Adit, bukan yang lain. Selamat tinggal Wisnu, selamat berbahagia dengan hidupmu.
***
            Aku mencoba merangkai potongan-potongan kisah bertanggal itu. Kisah yang sudah amat lama.  Laras adalah nama ibuku. Jangan-jangan, Wisnu adalah orang yang pernah ibu ceritakan. Cinta pertamanya, dan Adit adalah nama ayahku. Ya, petuah ibu untuk aku mengunjungi rumah ini dan menemukan kotak kayu dengan lembaran kisah masa lalu adalah caranya untuk membuktikan kata-katanya dulu. “Kepastian bisa mengalahkan segalanya, cita pertama sekalipun akan kalah.”
            Ibu, Ayah, aku ingin tahu lebih banyak tentang kisah itu. Kisah setelah tidak ada Wisnu dalam hidup kalian. Kisah yang hanya ada Laras dan Adit. Dua insan yang saling mencintai hingga Tuhan mengambil ruh keduanya. Ceritakan padaku, Ibu.. ceriakan padaku walau lewat mimpi.


*Giling-Pabelan, 3 Agustus 2014 

GEDUNG JUANG ‘45

            Aku melambatkan laju motorku setiap melewati jalan ini. Jalan berlubang di depan deretan gedung kecamatan. Sebuah gedung putih, berlabel Gedung Juang ’45. Haru menyeruak begitu saja, meski tak sampai satu menit aku melihatnya.
***
            Seorang anak perempuan. Rambutnya sepunggung, dikepang dua, pita merah di ujungnya,matanya bulat. Imut seperti boneka. Sayang, ia pemalu. Sejak kecil, ia hanya mau bersama bapak ibunya. Hingga seorang guru TK dengan welas asihnya membuat anak itu membuka dirinya.
            3 tahun ia mulai sekolah. Tidak ingat siapa yang pertama menjadi temannya. Dua tahun setelah itu, saat ia belum mengerti apa itu kesempatan, ia telah mendapatkannya. Ibu Mustiroh. Ibu guru tersabar yang pernah ia temuilah yang pertama kali memberikannya. Anak pendiam yang tidak seaktif teman-temannya, yang takut pada teman-temannya didelegasikan untuk mengikuti sebuah lomba tingkat kecamatan. Lomba pertama kalinya, pada usia 5 tahun.
            Ia tidak benar-benar mengerti apa itu lomba. Ia hanya diminta menghafal dua surat Al-Qur’an, surat Al-Ikhlas dan Al-Falaq. Setiap habis maghrib, dua minggu sebelum hari H,  bapaknya selalu membimbingnya. Ia seringkali tidak mau, asik dengan pensil warna dan gambar-gambarnya yang tidak jelas, atau sibuk bermain bersama adiknya, main mobil-mobilan. “Bapak punya tic tic (snack zaman dulu) nih buat yang mau ngaji…” cara sang bapak membujuknya. Ia luluh. Ngaji barang dua tiga ayat, dan kemudian menangis merajuk minta tic tic yang diiming-imingkan. Berhenti menangis setelah sepersekian detik tic-tic ada ditangannya. Dan beberapa menit kemudian tic-tic habis dimakan bersama adiknya. Berbagi.
            Malam-malam selalu begitu. Ngaji, menangis, dan snack. Selama satu minggu. Di minggu berikutnya, tidak ada lagi tangis dan tidak ada lagi ngaji sehabis maghrib. Terlalu banyak yang mengganggu pada waktu itu. Apalagi adiknya yang giginya sudah tajam, bak drakula saja ia menggigit lengan mbaknya.
***
            Dini hari, 03.00. Anak itu sedang asik duduk di meja super besar dengan buku yang banyak, tebal. Buku tentang kurikulum, matematika, dan majalah rindang yang bertumpuk. Tidak ada majalah bobo atau majalah ceria, majalah untuk anak usia 5 tahun. Meja itu adalah meja kerja mbah kakung, seorang guru matematika madrasah ibtidaiyah. Anak itu setiap dini hari, bahkan ketika bapaknya belum bangun, ia sudah membaca apa saja. Membaca buku yang ia tidak faham isinya. Jangankan isinya, kata-katanyapun ia belum mengerti. Ia hanya sedang senang mengeja, membaca. Mbah Kakungnya tahu tentang itu.
            Pada dini hari itulah, tanpa krayon, pensil warna, dan sang adik, Mbah Kakung mengajarinya mengaji. Tak jarang, hanya membacakan untuknya, dan anak itu hafal begitu saja. Surat Al-Ikhlas dan Al-Falaq sudah beres.
            Hari H. Sepertinya hari Kamis. Anak pendiam dan takut kepada teman-temannya itu pergi bersama Ibu Mustiroh ke tempat yang jauh dari sekolah. Saat itu rasanya jauh sekali bahkan. Tempat yang tidak asing, tapi juga sepertinya pernah ia lintasi. Mungkin, setiap jalan-jalan sore dengan Mbah Kakung. Gedung Juang ’45. Anak itu mengeja.
            Ia dan Bu Mustiroh masuk dan duduk di bangku yang sudah disiapkan oleh panitia. Saat itu, ia memakai seragam putih hijau, dan jilbab putih baru. Baru dibelikan oleh Mbah Putri kemarin lusa. Seperti biasanya, anak itu hanya diam. Duduk di tempat dengan sangat tenang. “Nduk, nanti kamu ngaji ya disana. Nanti gantian sama temannya.” Ibu Mustiroh mengatakan hal itu sembari menunjuk sebuah panggung kecil dengan stand mic yang pendek, namun cukup tinggi untuknya. Teman? Tidak ada teman saya Ibu disini. Pikirnya saat itu.
            Beberapa waktu sebelum lomba, Ibu Mustiroh banyak bertanya padanya. “Mau pipis dulu?” aku menggeleng. “Mau makan roti? Minum susu?” aku menggeleng. “Maunya apa Nduk?” Ibu Mustiroh menawari. “Tic tic.” katanya pendek. Mbah Putri tadi pagi memasukkan tiga bungkus tic tic di tasnya. Seperti biasa, dalam hitungan menit, tic tic pun habis ia makan.
            Waktu terus berjalan maju. Saatnya perlombaan dimulai. Satu persatu ‘teman’ dipanggil oleh panitia, maju ke depan. Ada yang hanya diam, tersendat ditengah-tengah ayat, ada yang menangis, dan ada juga yang lancar  melafalkan ayat demi ayat. Anak itu? Ia melafalkan surat yang memang sudah dihafalnya, ayat per ayat. Berdiri tegak sampai akhir, lancar, namun suaranya sangat lirih. Hampir tidak terdengar. Ia masih terlalu kecil untuk belajar dari peserta sebelumnya yang melafalkan kedua surat itu dengan lantang.
            Ia turun dari panggung kecil dengan ekspresi datar. Menuju gurunya berada, dan tersenyum, membalas senyum gurunya yang menyambutnya. Seperti ekspresi kelegaan setelah berlaga. Dan makan tic tic lagi. Memainkan jilbab barunya, dan mulai berbicara pada ’teman’ disebelahnya. Seorang anak laki-laki yang tadi lantang membaca surat Al-Ikhlas dan Al-Falaq. Sebenarnya anak lelaki itulah yang terlebih dahulu mengajaknya bicara. Anak lelaki yang sayangnya ia tidak tahu namanya. Tapi ia tahu kalau ia harus membagi tic ticnya dengan anak lelaki itu. Kebiasaan berbagi dengan adiknya.
            Siang. Gedung Juang ’45 masih riuh dengan kami, anak TK. Tapi tentu saja anak itu tidak ikut andil dalam keriuhan. Ia masih duduk diam dengan sebungkus tic tic dan ‘teman’ barunya. Seorang wanita berkaca mata naik ke panggung. Tangannya membawa secarik kertas. Kertas pengumuman. Pengumuman juara lomba manghafal surat Al-Ikhlas dan Al-Falaq tingkat kecamatan.Juara tiga dumumkan. Bukan aku. Kata hati anak itu. Juara dua.Bukan juga. Juara satu, temannya juara satu. Teman yang ia bagi tic tic, yang duduk disebelahnya. Anak lelaki itu maju, mengambil piala. Ternyata tahun lalu ia juga juara. Ibu guru mengajaknya memberi selamat kepada anak lelaki itu. Yang sayangnya ia tidak tahu namanya. Ucapan selamat pertama darinya. Ternyata, seperti itulah seorang pemenang. Tersenyum bangga di depan banyak orang.
            Anak perempuan itu pulang, tanpa kecewa. Bagaimanapun ia sudah ngaji di panggung yang ditunjuk ibu guru dan tidak menangis. Yah, kesempatan pertama, kekalahan pertama.
            Setelah sekian lama, seiring tahun yang berganti dan usia yang bertambah, anak itupun tumbuh. Dengan tempaan lomba demi lomba yang ia ikuti setelah lomba menghafal surat Al-Ikhlas dan Al-Falaq. Dengan menang kalah yang pernah ia rasakan.
Anak itu kini tidak lagi berkepang dua. Anak itu adalah aku, yang selalu merasa terharu setiap melewati Gedung Juang ’45 yang kini sudah agak berbeda, sudah direnovasi meski tetap bercat putih. Anak itu, yang tidak berani bicara di depan umum, yang takut dengan teman-temannya, yang memilih banyak diam, adalah aku. Gedung Juang ’45, lima belas tahun yang lalu. Aku tidak akan pernah lupa, kesempatan pertama itu.
*Bilik Permai

16 April 2014 2:43 a.m.