Aku menemukan kotak kayu coklat di rumah itu. Rumah
yang aku tinggali semasa kecilku. Aku membukanya, dan aku menemukan lembaran
lusuh yang termakan usia. Kubuka satu per satu lembaran itu, Agustus 2012, itu
sudah 25 tahun yang lalu, jauh sebelum aku terlahir di dunia ini. Wisnu?
Siapakah Wisnu? Dan kenapa ada nama Laras?
***
Agustus 2012
#Wisnu
Aku tak bisa memberikan kejelasan pada Laras. Aku
tidak bisa memutuskan takdirku sendiri. Selalu ada yang Maha Menakdirkan dalam
setiap keputusanku. Biarkan orang lain menanggapku salah satu dari fatalis yang
masih hidup di zaman semodern ini. Aku hanya bisa memberinya harapan – semacam
mengalirinya air kehidupan, entah sampai kapan.
***
Hari
ini, Laras kembali meminta penjelasan atas sebatas harapan yang aku berikan
padanya. Atas kalimat-kalimat retoris yang justru membuatnya selalu sesak. Aku
sedang sendiri saat itu. Di kamarku d asrama kampus yang jaraknya sudah ratusan
kilo dari tempat Laras berada sekarang. SMS masuk. Di layar ponselku, nama
Laras tertera. Aku bahagia, meski tak dapat ku ukur seberapa bahagianya aku
saat itu.
“Mas,
sibukkah?” pertanyaan yang sudah kuhafal, ini caranya untuk meminta sedikit
waktuku.
“Nggak,
kenapa?”
“Something
important. I miss you so crazy..” Aku tidak membalas, kalimat laras yang
tidak diakhiri tanda titik pertanda ia belum menyelesaikan kalimatnya. Aku
menanti akhir dari kalimat yang menggantung itu.
“Tapi
Mas, akhir-akhir ini aku mikir, apa ya Mas Wisnu punya perasaan yang sama? Apa
Mas Wisnu serindu aku rindu sama Mas? Aku butuh status Mas, butuh penegasan
atas hubungan kita. Butuh kata-kata kongkrit tentang rasa rindu Mas sama aku.
Selama ini, aku sesak sekali harus diam begitu lama. Anggap ini sebagai
gugatan. Ya, aku menggugat rasamu Mas.”
Aku
tertohok. Laras yang selama ini diam dan selalu bilang dia baik-baik saja, yang
selalu bilang akan menungguku sampai akhir, yang tidak akan akan mempersoalkan
ketiadaanku di sisinya, ternyata dia sakit, ternyata sabarnya berbatas,
ternyata ia membutuhkan seseorang, yang bisa disisinya, bukan aku yang begitu
jauh disini. Aku membaca sms itu, bisa membayangkan ekspresinya. Ia menangis
saat ini. Sendiri, mungkin di sudut kamar biru langitnya, mungkin juga di
bangku sudut taman, tempat kami mencipta beribu kenangan semasa muda. Ah,
pundakku terasa gatal. Aku ingin menopang segala sedih yang aku sebabkan di
relung hatinya. Aku juga rapuh, ingin sekali mengenyahkan fatalisme yang
celakanya sudah mendarah daging ini. Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Hanya
mampu kembali mencekiknya dengan kalimat menggantungku, menyerahkan segala
keputusan padanya.
“Jika
memang yang terbaik bagimu adalah tidak lagi menungguku, aku akan
membebaskanmu, silahkan melakukan apapun yang kau mau disana, bersama siapapun
yang kau suka. Tapi, jika menunggu adalah hal yang baik bagimu, maka tunggulah,
meski aku tidak tahu kapan tepatnya aku akan datang.” Jawabku.
***
Agustus 2012
#Laras
Seberapa bahagia ia disana, Tuhan? Selalu aku ingin
menjadi orang yang pertama mendengar ceritanya hari demi hari. Aku ingin
memberikan senyum pertamaku padanya setiap pagi. Aku ingin ia mengerti bahwa aku mencintainya penuh, bulat. Tapi, aku
tidak punya kesempatan lagi setelah perpisahan dua tahun yang lalu. Kami
memutuskan melangkah di jalan yang berbeda, memutuskan dengan hati yang tetap
sama.
***
SMS
terakhirku sudah terkirim, dan balasannya membuat perasaanku antah berantah. Aku
memaku di kamarku, dan tembok bisu yang menjadi tempat curhatku. Entah,
kebebasan ini apakah membuatku bahagia, atau membuatku terluka. Yang jelas,
airmataku mengalir tambah deras, airmata yang aku tidak tau ekspresi apa. Nafasku
semakin sesak, semakin tercekat.
Lama
aku melamun, mendefinisikan kata-kata yang aku telan dengan hatiku. Airmataku
sudah menyatu dengan udara. Aku gagal membentengi hatiku dengan sugesti
kekuatan yang aku buat sendiri. Aku berjanji, ini adalah airmata kekuatan,
bukan airmata lemah dan rapuh. Aku hanya butuh cara untuk menguatkan sekeping
hati ini, dan semuanya akan baik-baik saja, bukan semuanya akan lebih baik dari
sebelumnya.
Aku
jadikan tanganku menjadi sapu tangan. Airmataku
kering, aku bangkit, dan aku memutuskan untuk menjadi Laras yang baru, yang bebas lepas. Yang
terbang tinggi, yang lebih bahagia. Wisnu sudah menyadarkanku, ditinggalkan bukan
berarti aku harus terus berkutat pada kehampaan, kehilangan, dan rasa sedih
yang bergumpal-gumpal. Jika aku merelakannya dengan kerelaan yang utuh, Tuhan
akan menggantikannya dengan orang-orang lain yang lebih baik, lebih tulus, dan
lebih membahagiakan, serta lebih melengkapi. Orang-orang yang akan meneribtkan
senyum secerah mentari jam tujuh pagi. Semoga aku segera bertemu dengan
orang-orang yang dijanjikan Tuhan itu. Semoga seperti itu.
***
Agustus 2014
#Wisnu
Laras
bahagia. Kuharap begitu. Waktu begitu cepat berlalu. Jalanku pada rel kehidupan
ini juga cepat sekali. Kemarin, sepertinya aku baru saja mulai mencintainya.
Kemarin, sepertinya aku baru saja melenakannya dengan janji-janji yang entah
kapan akan kutepati. Tapi, kini, hanya dengan satu dua helaan nafas, aku telah
membiarkannya pergi. Membiarkan ia terbang dan menemukan persinggahan hati yang
baru, yang bukan aku. Mengapa aku merasa sesak? Bukankah harusnya aku bahagia?
Dengan begini tidak akan ada lagi wanita yang menanyakan seberapa serius aku
dengannya. Tidak ada lagi wanita yang menggugat perasaanku terhadapnya. Tidak
akan ada lagi.
Laras
bahagia. Aku meyakinkan hatiku lagi. Kini, aku tidak harus memikirkan
perasaannya lagi. Aku bisa lebih focus berbisnis dan mengejar ambisiku.
***
Agustus 2014
#Laras
Tidak
mudah menghapus bayangan Wisnu. Butuh waktu dua tahun sebelum akhirnya aku
memutuskan pinangan Adit. Aku akan bahagia, Wisnu. Terimakasih untuk tidak
pernah lagi datang selama 2 tahun ini. Aku benar-benar bahagia. Aku menemukan
apa yang selama ini aku cari. Sesuatu yang tak pernah aku temukan darimu walau
aku teguhkan hatiku untuk menantinya. Kepastian. Sesuatu yang aku butuhkan
untuk hidup.
Kepastian.
Dari seseorang yang aku mencintai aku, dan seseorang yang bersedia aku cintai. Adit.
Seseorang itu adalah Adit, bukan yang lain. Selamat tinggal Wisnu, selamat
berbahagia dengan hidupmu.
***
Aku
mencoba merangkai potongan-potongan kisah bertanggal itu. Kisah yang sudah amat
lama. Laras adalah nama ibuku.
Jangan-jangan, Wisnu adalah orang yang pernah ibu ceritakan. Cinta pertamanya,
dan Adit adalah nama ayahku. Ya, petuah ibu untuk aku mengunjungi rumah ini dan
menemukan kotak kayu dengan lembaran kisah masa lalu adalah caranya untuk
membuktikan kata-katanya dulu. “Kepastian bisa mengalahkan segalanya, cita
pertama sekalipun akan kalah.”
Ibu,
Ayah, aku ingin tahu lebih banyak tentang kisah itu. Kisah setelah tidak ada
Wisnu dalam hidup kalian. Kisah yang hanya ada Laras dan Adit. Dua insan yang
saling mencintai hingga Tuhan mengambil ruh keduanya. Ceritakan padaku, Ibu..
ceriakan padaku walau lewat mimpi.
*Giling-Pabelan, 3 Agustus
2014